Penulis Asal Tanzania Abdulrazak Gurnah Raih Nobel Sastra 2021
Abdulrazak Gurnah, 73 tahun, satrawan asal Tanzania yang sejak tahun 60an menetap di Inggris, memenangkan meraih penghargaan Nobel Sastra 2021. Novelnya yang mendapat Nobel itu bercerita tentang dampak migrasi pada individu dan masyarakat. Pengumuman kemenangan Abdulrazak Gurnah diumumkan Kamis kemarin di Swedia.
Nobel adalah penghargaan dari Raja Swedia yang diberikan sejak tahun 1901 untuk karya-karya berbagai bidang yang akan memberi manfaat kepada kemanusian.
Abdulrazak Gurnahmengatakan dirinya sangat terkejut ketika mendapat telepon dari Akademi Swedia, yang awalnya dikira lelucon. “Saya pikir itu tidak benar. Itu benar-benar membuat saya kaget,” katanya kepada The Associated Press.
Tema migrasi dan pengungsian yang dieksplorasi dalam novel-novelnya bahkan lebih mendesak untuk masa sekarang dibanding pada masa ketika ia memulai karier menulisnya, terutama karena saat ini terjadi pergerakan massa pengungsi dari Suriah, Afghanistan, dan sekitarnya. Abdulrazak Gurnah berharap karya fiksi dapat membantu orang-orang di negara-negara kaya memahami kemanusiaan para migran yang hanya mereka lihat di layar.
“Yang bisa dilakukan fiksi adalah mengisi kekosongan. Dan benar-benar memungkinkan orang untuk melihat bahwa, pada kenyataannya, itu adalah cerita rumit yang tampaknya telah menjadi budaya populer yang entah bagaimana terus abai terhadap apa yang tidak ingin mereka dengar,” katanya.
Abdulrazak Gurnah belum lama pensiun sebagai profesor sastra Inggris dan studi pasca-kolonial di Universitas Kent, Inggris. Dia lahir pada 20 Desember 1948 di pulau Zanzibar, sekarang bagian dari Tanzania, Abdulrazak Gurnah pindah ke Inggris pada akhir 1960-an. Pada saat itu ia melarikan diri dari rezim represif yang menganiaya komunitas Muslim Arab di tempat di mana ia berasal.
Ketua Komite Nobel untuk Sastra, Anders Olsson, menyebut Abdulrazak Gurnah sebagai salah satu penulis pasca-kolonial paling terkemuka di dunia. Menurutnya, tempat asal Gurnah, Zanzibar, menyimpan sejarah penting di mana banyak bahasa saling bertemu bahkan kosmopolitan jauh sebelum globalisasi.
“Karyanya memberi kita gambaran yang jelas dan sangat tepat tentang Afrika lain yang tidak begitu dikenal oleh banyak pembaca, daerah pesisir di dalam dan sekitar Samudra Hindia yang ditandai oleh perbudakan dan pergeseran bentuk represi di bawah berbagai rezim dan kekuatan kolonial: Portugis, India, Arab, Jerman, Belanda dan Inggris,” kata Olsson.
Gurnah mengatakan ia tersesat di dunia kepenulisan setelah tiba di Inggris sebagai cara untuk mengeksplorasi pengalaman atas kehilangan dan pembebasan imigran.
Ia telah menulis sedikitnya 10 novel, termasuk Memory of Departure, Pilgrims Way dan Paradise yang terpilih untuk Booker Prize pada 1994. Sementara karya-karyanya By the Sea, Desertion dan Afterlives memiliki latar cerita berkisar dari Afrika Timur di bawah kolonialisme Jerman hingga Inggris modern.
Bahasa ibu Gurnah adalah bahasa Swahili, namun ia menulis dalam bahasa Inggris. Ia merupakan penulis kelahiran Afrika keenam yang dianugerahi Nobel Sastra, yang selama ini telah didominasi oleh penulis Eropa dan Amerika Utara sejak diselenggarakan pada 1901.
Untuk bidang fisika, periah Nobel bersama adalah Klaus Hasselmann (Jerman), Giorgio Parisi (Italia) dan Syukuro Manabe dari Jepang. Sedang peraih Nobel bidang fisiologi atau kedokteran adalah Ardem Patapoutian dan David Julius, keduanya dari Amerika Serikat. Untuk bidang kimia diraih dua orang yaitu Benyamis List dari Jerman dan David McMilian dari AS. (*)