Penolakan Jenazah Covid-19, Pakar: Agama Defisit Spiritualitas
"Apa yang dipertontonkan oleh para penolak jenazah Covid-19 adalah wajah bopeng agama sebagaimana yang mereka pahami. Kenyataan semacam ini juga menunjukkan kepada kita bahwa keberagamaan tidak menjamin spiritualitas. Keduanya tidaklah sama, sekalipun punya irisan yang kuat."
Demikian diungkap Rektor Universitas Islam (UIN) Sunan Ampel, Prof Dr Masdar Hilmy. Ia memberi renungan atas kasus penolakan jenazah Covid-19 di Ungaran Semarang. Sehingga, Gubernur Jawa Tengah turun tangan langsung dan mengingatkan pelakunya. Kini tiga orang pelaku penolakan yang memprovokasi warga tengah diproses di pengadilan setempat.
Prof Masdar Hilmy mengingatkan, mestinya gambar yang utuh tentang agama sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW bukanlah agama yang defisit spiritualitas, tetapi agama yang mengapresiasi dan mengakomodasi dua-duanya dalam sebuah wadah yang satu: agama.
"Oleh karena itu, jangan heran jika para penjahat pun—baik yang kelas teri maupun yang kelas kakap—adalah juga orang-orang yang beragama, bahkan sebagian besar dari mereka telah menunaikan rukun agamanya secara sempurna," tuturnya.
Tapi apa mau dikata, itulah realitasnya! Selalu ada wajah bopeng keberagamaan kita. Dalam terminologi populer keislaman, terdapat ketakseimbangan antara hablun min Allah dan hablun min al-nās (hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia), atau ibadah mahdlah dan ghayru mahdlah, ibadah ritual dan ibadah sosial, ibadah vertikal dan ibadah horizontal, dan seterusnya.
Di setiap forum keagamaan, dualisme tersebut senantiasa didengungkan, tentang pentingnya menjaga keseimbangan di antara dua bandul pendulum atau kutub ekstrem tersebut. Tetapi, mengapa begitu sulit meraih keseimbangan di antara dua kutub tersebut?
Ya, demikianlah realitasnya. Setiap hari kita disuguhi oleh panorama berbagai macam ketidaksempurnaan kita, termasuk dalam kehidupan beragama. Seakan-akan realitas hidup hendak meneguhkan tesis ketidaksempurnaan makhluk; kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Akan tetapi, bukankah permakluman kita buat bukan untuk menyerah begitu saja kepada keadaan? Permakluman kita buat untuk memotivasi bahwa kita bisa lebih baik lagi. Jangan biarkan realitas ketidaksempurnaan membelenggu kita, seakan itu sudah final. Semacam takdir mubram, nasib yang tidak bisa diubah.
Bagaimana kita merefleksikan peristiwa penolakan jenazah Covid-19 dalam konteks keberagamaan kita? Jika kita terlalu sibuk dengan dimensi ornamental agama, maka sekarang saatnya kita menelisik dimensi spiritualitas kita, kedalaman rasa dalam beragama.
Sejatinya kita sudah sedemikian jauh dalam beragama. Tak heran angka naik haji setiap tahun terus bertambah. Angka rumah ibadah baru juga merangkak naik. Tak ketinggalan anggaran di Kementerian Agama membengkak untuk kehidupan beragama. Menurut saya, enough is enough untuk dimensi eksoterisme beragama kita.
Spiritualitas Lintas Batas
Sekarang ini saatnya kita melihat bagaimana realitas esoterisme beragama kita, yakni kedalaman spiritual kita dalam beragama. Termasuk dalam dimensi esoterisme beragama adalah memperkuat kemanusiaan kita. Apapun latar belakang agama dan keyakinan orang lain jangan sampai menjadi penghalang kita untuk berbuat baik.
Janganlah kita berbuat baik hanya kepada orang-orang yang sekeyakinan atau seagama dengan kita. Sementara kepada mereka yang berbeda keyakinan atau agama, kita tidak mau mengulurkan tangan kepada mereka.
Jika agama diikat oleh kesamaan rukun dan ritual, maka spiritualitas melampaui itu semua. Spiritualitas membangkitkan rasa ketuhanan yang tak terpisahkan dari kemanusiaan. Dalam spiritualitas keduanya tidak bisa dipilah-pilah secara hitam-putih. Berbuat baik kepada sesama manusia, terlepas apapun latarbelakang agama dan keyakinannya, adalah bagian dari spiritualitas itu sendiri.
Agama yang dikehendaki oleh Allah dan Muhammad adalah agama yang tak pilah-pilah dalam memilih objek perbuatan baik dan kemanusiaan kita. Bukankah Islam diturunkan untuk memberikan rahmat bagi alam semesta beserta seluruh isinya? (Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 107)
Oleh karena itu, kejadian penolakan jenazah Covid-19 harus menohok spiritualitas kita. Ternyata keberagamaan kita tidak menjamin kedalaman spiritualitas kita dalam bentuk kebaikan tanpa syarat kepada sesama makhluk Allah, tanpa kecuali. Hal demikian terjadi karena kita terlalu eksoterik, lahiriah-minded dalam beragama.
Kita terlalu sibuk dengan ornamen-ornamen ekstrinsik dalam beragama, sehingga kita lupa pada esensi beragama dalam konteks kemanusiaan universal.
Saatnya kita membuktikan bahwa keberagamaan kita bukanlah penghalang untuk perbuatan baik kita, karena keduanya adalah satu paket dari dua sisi uang yang sama. Takwa dan berbuat baik kepada sesama adalah satu entitas, tak terpisahkan. Perbuatan baik kita bukanlah investasi yang bersyarat.
Kita berbuat baik karena agama kita mengajarkan demikian. Oleh karena itu, jangan lagi kita memilah-milah target perbuatan baik kita. Siapapun makhluk yang ada di kolong jagad ini harus merasakan kebaikan dan kemanfaatan kita.
Saatnya kita meniru panutan kita masing-masing dalam beragama. Jika bukan Muhammad SAW yang kita tiru, lantas siapa lagi?.