Penjual 700 Lontong, Konsumsi Gas PGN karena Irit, Hemat dan Aman
Tumpukan daun pisang yang digulung tampak memenuhi rumah di Jalan Banyu Urip Lor Gang 2, Surabaya. Daun-daun itu bertumpuk memenuhi keranjang buah berwarna putih. Tak heran, karena rumah ini setiap harinya memproduksi lontong. Sebenarnya, tak hanya satu rumah ini saja yang memproduksi lontong, tapi banyak warga lainnya juga memproduksi lontong di gang ini. Predikatnya pun menjadi Kampung Lontong.
Jalan menuju rumah ini hanya cukup dilewati satu orang saja. Pada bagian luar rumah terdapat dua panci berukuran sebesar tangki air. Selang berwarna oranye bergelayut di tanah. Kala itu, Ngopibareng.id disambut Diah Utaminingsih, salah satu penjual lontong di sini. Memakai kerudung cokelat muda dan berbaju polkadot, dengan ramah dia mempersilahkan duduk.
Dari dalam rumah tumpukan daun bergulungan dalam keranjang bertebaran. Terhitung enam keranjang terisi penuh gulungan daun. Dalam sehari Diah menghasilkan sekitar 800 lontong.
Sambil memasukkan beras ke dalam daun, dia bercerita, “Saya sehari bisa menghabiskan 35 kilogram beras untuk 800 lontong. Saya menjualnya di pasar Simokwagean sejak pukul 02.00 hingga 04.00 pagi” kata perempuan bertubuh gemuk itu pada Kamis, 12 Maret 2020 lalu.
Jumlah 800 merupakan jumlah standar yang biasa dia produksi. Produksi sebanyak ini berdasarkan penghitungan hasil permintaan dari pelanggan tetapnya. Pelanggan tersebut antara lain penjual bakso, gado-gado dan rujak.
Sebelumnya, saat pertama kali berjualan pada 2015, ia hanya memasak 300 biji lontong. Lontong dibawa ke pasar Simo dan ludes dalam sekali jual. Ia menjajakan dagangannya di samping penjual kelapa parut dan ikan laut.
Lima tahun sebelumnya, perempuan asli Surabaya ini berjualan lontong namun ia bekerja pada orang lain. Diah memiliki pandangan untuk berjualan sendiri karena memang ingin mencoba.
“Saya tertarik mencoba usaha sendiri berkaca pada bos saya. Kalau dia bisa, saya pasti juga bisa. Saya memberanikan diri berjualan di Pasar Simokwagean dengan membawa 300 biji dan alhamdulillah habis” ceritanya dengan nada penuh syukur
Melihat potensi jualan yang bisa dikembangkan, setiap bulannya secara berangsur jumlahnya ia tambah. Mulai dari 140 biji lontong, 420, hingga 800 biji.
Di sisi lain, lontong sejak 2015 harganya dipertahankan Rp 1000. Hal ini untuk menjaga pelanggan tetap agar tidak berpaling. Karena, walaupun beras naik, pelanggan tidak mau membeli jika harga dinaikkan. Untuk mengatasinya, perempuan 39 tahun itu mengurangi jumlah kadar beras pada lontong.
Konsumsi Gas PGN Lebih Irit dan Hemat
Sekitar tahun 2016 lalu program Jargas mulai masuk di Banyu Urip Surabaya. Sempat ada pro dan kontra di antara warga. Namun Diah kala itu tak langsung memasang. Bukan karena termasuk dalam golongan yang kontra dengan program Jargas, namun lebih karena ketidaktahuannya.
“Saya baru pasang November 2019 setelah ajukan dua kali. Sebelumnya nggak tahu kalau ternyata beda (Kartu Keluarga) KK bisa ngajukan. Saat itu saya numpang kakak yang sudah pasang” kenang perempuan yang ramah itu.
Setelah kurang lebih setahun menggunakan Jargas, Diah sudah mulai merasakan kelebihannya. Menurut dia, pakai Jargas lebih murah dibandingkan dengan sumber energi lain. Selisih bahkan nisa dua kali lipatnya. Dalam sebulan jika menggunakan sumber energi lain, dia bisa Rp 1.6 juta. Namun dengan menggunakan Jargas PGN paling mahal hanya Rp760 ribu.
“Ini lebih murah dan hemat. Terakhir kemarin hanya Rp 760 ribu, sebelumnya Rp. 250 ribu, Rp 360 ribu. Jumlah bertambah sesuai penggunaan gas” ucap perempuan lembut ini.
Diah setiap hari ia memasak lontongnya selama sembilan jam. Tujuannya agar lontong matang dengan sempurna. Jika pemasakannya matang sempurna, maka lontong yang dihasilkan bisa lebih tahan lama dan tak berair. Selain itu, ketika masih sumber energi lain, dia sering kehabisan di tengah memasak. Diah pun harus mencopot dan memasangnya agar tetap bisa masak. Namun sekarang, ia sudah tidak perlu repot bongkar-pasang tabung.
Masak Tenang dan Aman
Dulu ketika menggunakan LPG ketika memasak lontong api harus selalu dipantau. Khususnya dijaga agar nyala api tetap kecil. Selain itu, tidak boleh ada yang lalai dalam penjagaannya. Jika ada yang pergi atau tidur harus ada yang jaga.
“Dulu itu kita saling bergantian, harus pantau api dalam keadaan kecil. Kalau dia (suami) tidur saya yang jaga. Kalau saya pergi, dia yang jaga” katanya
Terlebih kalau dia hendak pergi meninggalkan rumah. Dirinya selalu dihantui perasaan was-was akan kompor. Setelah sekarang menggunakan gas PGN banyak manfaat dirasakan.
Salah satunya, gas PGN saat pertama instalasi ukuran api disesuaikan dengan keinginan pelanggan. Seperti seberapa besar kecilnya api. Selain itu, tidak dibutuhkan regulator untuk menyambungkan gas ke kompor. Gas PGN juga mudah terurai jika dibandingkan dengan sumber energi lain.
“Alhamdulillah sekarang lebih mudah dan ngga ribet, nggak usah regulator langsung ke kompor. Gas ini pun ga ngowos. Saya juga kalau meninggalkan rumah bisa tenang dan aman, tinggal nutup krannya saja” ucapnya dengan bahagia
Di sisi lain, sebelum memasang gas ini, Diah sudah dibekali penyuluhan penggunaan gas PGN. Dalam penyuluhan itu diberikan informasi terkait penanganan dan penggunaan gas. Sehingga, dia mengetahui langkah apa saja yang dilakukan saat terjadi gangguan.
“Sebelumnya sudah ada penyuluhan. Kayak kalau ada kebocoran harus bagaimana, nelponnya ke mana” tutupnya
Advertisement