Penjara Era Kolonial di Kota Surabaya: Antara Cagar Budaya dan Kondisi Terabaikan
Surabaya, sebagai salah satu kota dagang dan industri terbesar pada masa Kolonial Hindia-Belanda telah menyimpan banyak cerita sejarah yang tak terungkap. Salah satunya adalah sejarah keberadaan penjara-penjara yang menjadi saksi bisu perjalanan Kota Pahlawan.
Di antara penjara-penjara tersebut, pemerhati sejarah Surabaya, Nur Setiawan menjelaskan, penjara Kalisosok dan penjara Koblen memiliki peran penting, baik dalam upaya kolonialisme Belanda untuk mengendalikan perlawanan maupun dalam kehidupan masyarakat Surabaya yang penuh dinamika.
Keberadaan penjara-penjara ini tak hanya mencerminkan kekuasaan kolonial, tetapi juga menggambarkan pergulatan sosial dan politik yang berlangsung di kota ini sepanjang masa.
"Nah kalau penjara lama yang sifatnya rutan atau lembaga permasyarakatan ada dua yakni penjara Kalisosok dan penjara Koblen," ucap Wawan, sapaan akrab Nur Setiawan.
Wawan menjelaskan, penjara Kalisosok merupakan penjara umum, yang diperuntukkan bagi masyarakat sipil. Sedangkan penjara Koblen adalah penjara militer. Berdasarkan catatan sejarah, penjara Kalisosok dibangun pada sekitar awal tahun 1800 atau awal abad 19. Namun, pada abad sebelumnya, sekitar tahun 1700 sudah terdapat penjara Kalisosok. Namun area cakupannya masih kecil karena sifatnya kota Benteng Surabaya.
"Nah baru pada abad ke-19, Surabaya mulai berkembang dan dibangunlah lebih besar dan lebih ketat lagi, yakni penjara Kalisosok. Kalau penjara Koblen baru dibangun pada sekitar abad ke-20, atau sekitar tahun 1900 atau tahun 1920," paparnya.
Wawan menerangkan, selain berperan sebagai kota industri dan pusat perdagangan, Surabaya juga menyandang julukan kota militer. Dimana terdapat dua markas besar Angkatan Laut sama Angkatan Darat.
“Otomatis sama seperti masyarakat sipil pada umumnya, para anggota militer juga mengalami atau melanggar tindakan-tindakan kode etik militer atau Undang-Undang yang ditentukan terhadap mereka. Otomatis siapapun yang melanggar, maka mereka harus diadili dan ditempatkan di penjara Koblen militer,” ujarnya.
Lebih lanjut, keberadaan penjara-penjara tersebut juga disokong dengan legitimasi berupa undang-undang. Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menerbitkan Undang-Undang khusus untuk membangun penjara karena tindakan kriminal sudah merajalela di Surabaya.
Menurut Wawan, seluruh warga, baik itu juga orang-orang Belanda ataupun Eropa yang menyandang tempat tertinggi dalam stratifikasi sosial maupun masyarakat Bumiputera kerap kali melakukan perbuatan yang melenceng dari hukum negara.
"Maka dari itu, setiap peristiwa atau tindakan kriminal ini harus diadili di pengadilan dan setelah diadili, otomatis harus ada tempat menghukum mereka," ucapnya.
Meskipun penjara Kalisosok dan penjara Koblen telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang seharusnya dilestarikan, kenyataannya kondisi keduanya saat ini memprihatinkan dan jauh dari kata terawat.
Kedua situs sejarah ini, yang dahulu menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting di Surabaya, kini terabaikan dan kurang mendapat perhatian yang layak. Padahal dengan perawatan yang baik, keduanya bisa menjadi sumber pembelajaran sejarah yang berharga bagi generasi mendatang.
Keadaan ini menjadi pengingat bahwa pelestarian situs-situs bersejarah tidak hanya membutuhkan pengakuan formal, tetapi juga komitmen nyata untuk menjaga dan merawat warisan sejarah yang ada di Kota Pahlawan.
“Harapannya bisa menjadi tempat wisata, galeri, sentra kuliner dan supaya bisa dimanfaatkan daripada mangkrak atau dibiarkan dan akhirnya rusak. Karena di penjara Kalisosok banyak tokoh-tokoh yang dahulu dipenjara disitu,” pungkasnya.