Pengusaha Mebel Ini Banting Setir Membuat Peti Mati
Di tengah-tengah kesempitan selalu ada kesempatan. Hal itu dirasakan Abdul Muni, 64 tahun, pengusaha mebel asal Desa Alaskandang, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo.
Ketika usaha mebelnya yang memproduksi meja, kursi, lemari, dan perabotan rumah lainnya sedang lesu ditimpa pandemi Covid-19, tiba-tiba tebersit di benak Muni untuk membuat peti mati. “Saya berpikir mengapa tidak membuat peti mati yang sekarang banyak dibutuhkan sejumlah rumah sakit untuk jenazah korban Covid-19,” kata Muni di rumahnya, Jumat, 8 Januari 2021.
Muni berterus terang, ide cerdas itu justru muncul saat usaha mebelnya nyaris gulung tikar. Hampir tidak ada lagi warga yang memesan perabotan rumah tangga kepadanya. “Saya sempat berpikir untuk merumahkan sembilan pekerja mebel untuk sementara waktu,” katanya.
Biasanya sebelum Covid-19 merebak, Mebel Asterina milik Muni selalu banjir pesanan. Baik pesanan lokal maupun dari luar daerah seperti dari Lumajang, Malang, Surabaya, hingga Bali.
“Dulu, banyak warga beli mebel, termasuk pengantin beli mebel untuk barang bawaan atau bahasa Maduranya, bekhebeh,” ujar Muni.
Tapi kakek enam cucu itu hanya bisa “bernostalgia” saat mebelnya masih berjaya, sebelum pademi Covid-19 melanda. Daripada terus merenungi nasibnya, Muni kemudian mencoba membuat peti mati dan ditawarkan ke sejumlah rumah sakit di Probolinggo,sejak akhir September 2020 silam.
“Soalnya saya mendapatkan informasi, warga yang meninggal karena Covid-19 dimakamkan dengan peti mati,” katanya.
Muni mengaku, gembira ketika dalam sebulan pertama (September 2020) ia bisa mengirimkan 35 peti mati ke sejumlah rumah sakit di Kabupaten Probolinggo hingga luar daerah. Ia pun batal merumahkan sembilan pekerja mebelnya.
Suami Astidja itu bahkan menambah jumlah pekerja lepas di tempat mebelnya. Tetapi ia tidak mematok target tertentu, sebatas mengerjakan peti mati sesuai pesanan rumah sakit.
Muni berterus terang, memproduksi peti mati keuntungan jauh lebih rendah dibandingkan produk mebel untuk rumah tangga. Namun ia tidak mau menyebutkan harga peti mati dankeuntungan yang diraihnya. “Meski keuntungan kecil yang penting usaha tetap jalan,” ujar ayah empat anak itu.
Sekadar diketahui di Kabupaten Probolinggo terdapat dua rumah sakit yang menjadi rujukan pasien Covid-19 yakni, RSUD Waluyo Jati, Kraksaan dan RSUD Tongas. RSUD Waluyo Jati misalnya, selama Maret-Desember 2020 lalu memerlukan 110 peti mati.
Melonjaknya angka kematian akibat Covid-19 tentu saja membuat kebutuhan terhadap peti mati juga meningkat. Baik itu pasien terkonfirmasi positif, berstatus suspect, hingga probable karena semua jenazahnya diperlakukan dengan protokol kesehatan.
“Angka kematian pasien Covid-19 di Kabupaten Probolinggo melonjak bulan Desember 2020," kata Humas RSUD Waluyo Jati Kraksaan, Sugianto.
Sebagai langkah antisipatif, RSUD Waluyo Jati pun menyiapkan 10 peti mati cadangan. “Yang jelas kami memesan peti mati produksi lokal Probolinggo,” katanya.
Pertimbangan memilih produk peti mati lokal karena faktor kedekatan jarak. “Selain itu sekaligus membantu pengusaha lokal, yang terdampak Covid-19 agar usahanya tetap hidp,” ujar perawat yang aktif di Lembaga Kesehatan NU itu.
Sementara itu, perkembangan Covid-19 di Kabupaten Probolinggo masih cukup tinggi. Hingga Kamis, 7 Januari 2021, sebanyak 2.279 warga Kabupaten Probolinggo terkonfimasi positif Covid-19. Sebanyak 203 orang di antaranya menjalani perawatan dan 117 orang dilaporkan meninggal dunia. Sebanyak 1.959 pasien berhasil sembuh dari Covid-19.