Pengusaha ini Resah dengan Seruan Boikot Produk Prancis
Seruan boikot produk Prancis keluar sebagai bentuk protes pada komentar Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam. Namun, pengusaha khawatir, boikot produk Prancis berdampak buruk pada pedagang menengah dan kecil.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Adhi S Lukman menyayangkan adanya aksi boikot produk Prancis tersebut. Menurutnya, pernyataan Macron tentang Islam disebut tidak ada kaitannya dengan bisnis. "Sebaiknya jangan kaitkan politik dengan bisnis karena dunia usahanya tidak ada kaitan apapun,” ujarnya, Sabtu, 7 November 2020.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey yang menyampaikan konsumsi rumah tangga selalu menjadi penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Pada PDB Semester I 2020 yang sebesar 1,26 persen, konsumsi rumah tangga dari peritel berhasil menyumbangkan sekitar 57 persen. “Konsumsi rumah tangga itu masih selalu yang tertinggi karena memang negara Indonesia masih negara konsumtif, belum menjadi negara pengekspor,” ucapnya.
Selain itu, menurut Roy, aksi boikot juga akan berdampak terhadap hampir 5.000 pekerja di semua perusahaan ritel anggota Aprindo, yang terdiri dari kasir, SPG, karyawan toko, gudang, dan kantor.
“Kita memang mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron seperti yang disampaikan pemerintah, tapi Aprindo tidak pernah mau menyerukan ke anggota seperti apa yang dikatakan ormas atau LSM untuk melakukan boikot,” katanya.
Sementara itu, dampak dari boikot juga sudah mulai dirasakan masyarakat karena sejumlah pedagang kecil mulai merasa resah dan khawatir dagangannya tak laku.
“Saya dagang Aqua itu kan sudah cukup lama ya, jadi orang-orang tetap mencarinya. Makanya saya tidak setuju ada boikot,” ujar Samsu, salah seorang pedagang.
Laki-laki 40 tahun itu juga mengaku heran karena seruan boikot itu gencar hanya untuk produk sehari-hari yang banyak dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah.
“Ini kan yang biasa kita gunakan sehari-hari, yang sanggup kita beli. Yang kerja di pabriknya juga orang-orang kita. Harusnya tas-tas mahal yang harganya puluhan juta, ada yang berani? Katanya. (Ant)