Pengusaha Dinilai Aneh Jika Adukan Harga Gas Industri ke Presiden
Pengusaha yang tergabung di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dinilai sangat aneh jika mengadukan langsung persoalan harga jual beli gas industri kepada Presiden Jokowi karena hal itu ranahnya bisnis ke bisnis.
"Ini soal kesepakatan antara penjual dan pembeli dan sangatlah aneh jika harus diadukan langsung ke Presiden. Nanti setiap hari, Presiden kerjanya ngurusi laporan soal harga saja dong," kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, dalam penjelasannya di Jakarta, Jumat.
Penegasan tersebut terkait dengan keinginan Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin, Achmad Widjaja, yang ingin mendapatkan kepastian dan ingin mengadukan hal ini langsung ke Presiden Joko Widodo.
"Kami akan minta presiden campur tangan. Kami akan Istana tanggal 10 Oktober," ujar Achmad.
Rencana itu sebagai bentuk penolakan terhadap rencana kenaikan harga jual gas industri karena dinilai sangat berpengaruh kepada pelaku industri.
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sendiri sudah menunda niat menaikkan harga gas komersial dan industri yang direncanakan mulai 1 Oktober 2019.
Direktur Komersial PGAS, Dilo Seno Widagdo mengatakan rencana kenaikan harga gas mundur dari jadwal karena terkendala masalah teknis.
Namun, Dilo hanya mengatakan usulan kenaikan harga gas masih tetap berlaku, sehingga pelaksanaan hanya soal waktu.
Menurut Sekretaris Perusahaan PGAS, Rachmat Hutama, harga jual gas PGAS ke pelanggan akhir saat ini berkisar 8 hingga 10 dolar AS per mmbtu.
Sofyano melanjutkan, harga hulu gas di Indonesia cukup tinggi dan ini secara bisnis pasti berdampak terhadap PGN selaku BUMN yang menjual gas.
Jika Presiden Jokowi, kata dia, ingin ikut campur maka harusnya harga jual di hulu yang diturunkan sehingga tidak "memaksa" BUMN PGN tidak mengoreksi harga jual, apalagi gas industri bukanlah barang bersubsidi.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar sikap Presiden harus jelas dan tegas dan bisa membedakan mana produk subsidi yang jadi kewenangan pemerintah dalam menentukannya dan mana produk non subsidi yang harusnya mengikuti mekanisme pasar.
"Tidak perlu dikaitkan dengan ketentuan yang sejatinya hanya alat untuk memperjuangkan keinginan pihak tertentu saja," kata Sofyano.
Dia juga menilai, jika untuk harga produk non subsidi pemerintah ikut campur dalam penetapan harganya maka hal ini bisa berpengaruh terhadap harga komoditas lain dan ini bisa jadi masalah bagi perekonomian negeri ini.