Pengunjung Ijen Tak Bisa Lihat Blue Fire karena Jam Pendakian
Sejumlah pengunjung Taman Wisata Alam (TWA) Ijen, Banyuwangi, mengeluh tidak bisa melihat blue fire. Padahal, pesona blue fire merupakan tujuan utama wisatawan yang datang ke gunung api ini. Hal ini karena kebijakan pengelola TWA Ijen yang membuka pendakian pada pukul 03.00 WIB. Tidak hanya itu, wisatawan juga mengeluhkan mahalnya harga paket wisata untuk pendakian ke Ijen.
Salah seorang wisatawan, Rd mengatakan, saat jalur pendakian baru dibuka pukul 03.00 WIB, kesempatan untuk melihat blue fire sangat kecil. Pria 41 tahun ini mengaku, pendakian membutuhkan waktu setidaknya satu sampai dua jam. Sedangkan blue fire biasanya muncul antara pukul 03.00-04.00 WIB
“Sampai di atas blue fire-nya tidak ada, kalaupun masih terlihat hanya sebentar saja,” jelas wisatawan asal Banyuwangi ini, Selasa, 22 Februari 2022.
Kondisi ini diduga dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengais pundi-pundi uang. Rd mengungkap, ada orang yang menawarkan paket wisata blue fire Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). Paket wisata ini ditawarkan seharga Rp1,5 juta.
Fasilitas yang didapatkan dari paket ini adalah jasa pemandu wisata, tiket masuk, jas hujan, senter, dan tentunya Simaksi. Istimewanya lagi, dengan membeli paket ini wisatawan bisa melakukan pendakian mulai pukul 01.00 WIB. Ini dua jam lebih awal dari ketentuan yang resmi.
“Kalau ingin naik dengan fasilitas troli maka harus nambah 800 ribu lagi,” bebernya.
Aturan Jam Pendakian Cegah Kerumunan
Rd mengaku mengalami hal ini saat dirinya melakukan pendakian pada Januari 2022 lalu. Dia terpaksa membeli paket itu demi melihat blue fire dengan waktu yang lebih lama. Meski disebut paket blue fire Simaksi namun dia mengaku tidak pernah melihat wujud surat Simaksi tersebut.
“Katanya diuruskan. Terpaksa saya beli karena saya butuh.” ungkapnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kasi Konservasi Wilayah V Banyuwangi BBKSDA Jawa Timur, Purwantono menyatakan, aturan pendakian dilakukan pukul 03.00 WIB itu diterapkan saat pandemi Covid-19, tepatnya pada masa new normal.
Kebijakan ini diambil untuk mengantisipasi kerumunan orang. Menurutnya, aturan itu masih berlaku hingga sekarang karena yang menetapkan aturan adalah pihak BBKSDA.
“Kalau kami kan di tingkat lapangan hanya menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh balai besar,” tegasnya.
Mengenai penggunaan Simaksi, Purwantono mengakui, pada 2021 memang pihaknya sempat mengeluarkan Simaksi. Tapi aturan itu sudah tidak diberlakukan lagi pada tahun ini. Faktanya, Simaksi ini dimanfaatkan untuk melihat blue fire.
“Kalau misalkan masih ada, itu ada oknum yang bermain. Kita lihat, kita telusuri dulu modus itu. Kalau memang itu terjadi Januari ya. Soalnya terakhir kalau tidak salah akhir tahun lalu (penggunaan Simaksi),” ujarnya.
Jualan Simaksi
Purwantono menjelaskan, Simaksi itu dikeluarkan untuk kegiatan pengambilan foto komersial atau non komersial. Tarifnya, menurutnya hanya Rp 250.000. Dia mengaku heran, jika sampai ada pihak yang menjual paket Simaksi sampai Rp1,5 juta.
Untuk pengurusan Simaksi, lanjutnya, bisa dilakukan di Balai Besar KSDA Surabaya dan Balai Konservasi Wilayah V Banyuwangi. Biasanya, orang yang mengajukan Simaksi ini berasal dari luar kota dan ada semacam proposal yang diajukan terlebih dahulu.
“Tidak bisa instan. Biasanya kalau permohonan itu kaitan dengan penelitian,” terangnya.
Purwantono kembali menegaskan, Simaksi bukanlah khusus untuk melihat blue fire. Tapi untuk kegiatan-kegiatan memasuki kawasan konservasi. Karena untuk mengambil foto di kawasan konservasi terutama di Taman Wisata Alam itu dikenakan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).
“Itu tidak untuk tujuan paket blue fire secara khusus. Simaksi itu dijadikan alasan untuk melihat blue fire apalagi menjualnya paket blue fire dengan Simaksi. Itu tidak bisa,” pungkasnya.