Pengunjuk Rasa Anti-Kudeta Sudan Meningkat, Ini Fakta Korban
Tujuh pengunjuk rasa tewas di Sudan sejak kudeta militer empat hari lalu, kata seorang pejabat kesehatan. Menurutnya, mayat-mayat lain telah tiba sejak itu tanpa memberikan jumlah pasti.
Empat pengunjuk rasa sudah dilaporkan tewas pada hari Senin, beberapa jam setelah kudeta militer diumumkan.
“Pada hari Senin, kamar mayat di Khartoum dan Omdurman menerima mayat tujuh warga sipil,” kata Hisham Fagiri, kepala otoritas forensik kementerian kesehatan. “Beberapa mayat menunjukkan luka yang disebabkan oleh senjata tajam,” tambahnya dikutip Arabnews.com, Minggu 31 Oktober 2021.
Sementara itu, Jenderal Abdel-Fattah Burhan memecat setidaknya enam duta besar, termasuk utusan untuk AS, Uni Eropa dan Prancis, setelah mereka mengutuk pengambilalihan Sudan oleh militer, kata seorang pejabat militer Kamis lalu.
Para diplomat menjanjikan dukungan mereka untuk pemerintahan Perdana Menteri Abdalla Hamdok yang digulingkan.
Juga dipecat duta besar Sudan untuk Qatar, Cina, dan misi PBB di Jenewa, menurut pejabat yang tidak bersedia disebutkan namanya itu. TV Sudan yang dikelola pemerintah juga melaporkan pemecatan itu.
Para duta besar dipecat dua hari setelah Burhan membubarkan pemerintah transisi dan menahan perdana menteri, pejabat pemerintah, dan pemimpin politik. AS dan negara-negara Barat mengecam kudeta itu. Militer mengizinkan Hamdok pulang pada hari Selasa setelah tekanan internasional untuk pembebasannya.
Perselihan Jadi Alasan
Burhan mengatakan pasukan militer terpaksa mengambil alih karena perselisihan antarpartai politik yang dia klaim bisa memicu perang saudara. Namun, kudeta juga terjadi hanya beberapa pekan sebelum Burhan harus menyerahkan kepemimpinan Dewan Berdaulat, pembuat keputusan utama di Sudan, kepada seorang warga sipil, dalam sebuah langkah yang akan mengurangi cengkeraman militer di negara itu. Dewan memiliki anggota militer dan sipil. Pemerintahan Hamdok menjalankan urusan sehari-hari Sudan.
Kudeta mengancam proses transisi Sudan menuju demokrasi, yang dimulai setelah penggulingan penguasa lama Omar Al-Bashir pada 2019.
Pengambilalihan itu terjadi setelah berpekan-pekan meningkatnya ketegangan antara para pemimpin militer dan sipil dalam proses itu.
Ali bin Yahia, utusan Sudan di Jenewa, menentang pemecatannya.
“Saya tidak akan menyia-nyiakan upaya untuk membalikkan situasi, menjelaskan fakta dan menolak pemecatan yang dilakukan oleh pejabat kudeta atas apa yang terjadi di negara saya tercinta,” katanya dalam komentar video yang diposting online.
Sedangkan Nureldin Satti, utusan Sudan untuk AS, mengatakan di hari Selasa bahwa ia bekerjasama dengan diplomat Sudan di Brussel, Paris, Jenewa dan New York untuk “melawan kudeta militer demi mendukung perjuangan heroik rakyat Sudan”.