Pengungsi Syiah Sampang Bergantung Hidup pada Sawah di Kampung
Jam menunjuk pukul 04.30 ketika serombongan penghuni Rumah Susun Puspa Agro, Jemundo, Kabupaten Sidoarjo, bersiap menunaikan Salat Subuh. Ruang sempit di lantai 2 dan 3 menjadi musala darurat selama beberapa tahun, sejak mereka terusir dari Sampang. Terdengar lantunan kunut dikumandangkan imam, pada rakaat kedua, sebelum rukuk.
Usai solat dan wirid, anak-anak berhimpun, mendaras juz amma, hingga pukul 05.00 WIB. Tampak di sudut ruangan, Ummi Kulsum memantau kegiatan itu.
Mengenakan mukena pink, istri Ustaz Tajul Muluk itu kemudian mempersilakan Ngopibareng duduk di bangku kayu, depan kamarnya. Kamar berukuran 6x5 telah dihuninya selama tujuh tahun terakhir dan disebut sebagai rumahnya. Pagi itu, Ummi menjamu Ngopibareng dengan segelas teh hangat.
Perempuan berusia 43 tahun itu mulai berkisah. Ia berharap bisa pulang dan hidup tenang. Ada banyak hal yang membuatnya tak tenang di rusun.
"Tidurnya gimana, ruangan bersekat-sekat untuk 5 orang. Kalau pulang yang cowok sampai tidur di luar pakai karpet. Di sini pun ngga muat, numpuk-numpuk kayak pindang” ungkapnya. Bersama Tajul, ia dikarunia lima orang anak.
Ia lantas menawarkan ketan manis hangat yang disajikan di atas piring.
Rumah yang sempit terpaksa disekat agar cukup untuk ruang tamu, ruang tidur, dapur dan musala. Jika hujan, air merembes di sana-sini. Pun tak ada tambahan rumah atau ruang baru bagi penghuni yang menikah.
"Sudah sering dilakukan protes ke pemprov (Pemprov Jatim) tapi belum ada tanggapan” sesal Ummi.
Ia juga was-was akan diusir setiap saat. Rumor yang berkembang di rusun membuatnya tak bisa tidur nyenyak.
Hidup Bergantung pada Sawah di Sampang
Tak hanya rumah, tinggal di pengungsian membuatnya kesulitan mencari nafkah. Uang jaminan hidup per bulan sebesar Rp709 ribu tak cukup menghidupi dia dan lima anaknya. Ia pun berjualan es lilin dan es campur, empat kali sepekan di Pasar Puspa Agro. Sekali berdagang ia bisa mengantongi sekitar Rp 110 ribu, untuk 10 es lilin dan 20 bungkus es campur. Jumlah yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan lima anaknya.
“Jelas nggak cukup, anaknya banyak dan sekolah semua. Yang kedua mau kuliah ga bisa, ga ada biaya” kata Ummi.
Sulungnya, perempuan berusia 20 tahun, kini belajar dan mondok di Sunter, Jakarta. Putra keduanya mondok di Pasuruan, bersama anak ketiga dan keempat yang duduk di bangku SMP dan SD. Sementara bungsunya kini ikut menjadi murid PAUD darurat di rusun Puspa Agro.
Suaminya Tajul Muluk, tak lagi bisa mengupas kelapa setelah mengalami kecelakaan dan menghabiskan biaya Rp90 juta untuk berobat.
Untung saja, pohon jati dan sengon di Sampang masih tumbuh dan bisa dijual untuk hidupnya di rusun. Berbekal komunikasi lewat telepon, Ummi bisa meminta saudaranya menjual kayu dan mengirim uang penjualannya, setelah dipotong ongkos untuk saudaranya.
"Semakin besar semakin mahal. Ada yang (laku) Rp5,7 juta. Tapi nggak penuh dan harus dipotong ongkos untuk saudara”, katanya.
Dua petak sawahnya di Sampang juga menjadi sumber penghidupan keluarganya. Namun, hidup dan matinya sawahnya kini tergantung belas kasih tetangganya. Jika tetangganya sedang ingin menanam padi, Ummi akan mendapatkan bagi hasil 50 kilogram beras. Namun jika ditanami kacang tanah, Ummi akan mendapat kiriman uang.
Beberapa penghuni rusun pulang saat musim hujan untuk bercocok tanam, dan tinggal selama sepekan. Pengungsi pulang berkendara motor atau pun naik ojek. Sejak tiga tahun terakhir, pengungsi lebih leluasa pulang ke kampung halaman untuk bercocok tanam.
"Ada kelonggaran dari Bupati (di Sampang) mereka dibiarkan kembali ke kampung selama tidak ada penganggu kampung (preman),"katanya.
Namun, nasibnya tak seberuntung pengungsi lain. "Mereka boleh, tapi khusus untuk Ustaz Tajul tak boleh pulang ke Sampang (oleh tokoh masyarakat di Sampang)," lanjutnya.
Tangannya memungut ketan yang tak lagi hangat. Ia kunyah dan telan perlahan dengan wajah datar.
Berharap Pulang pada Khofifah
Ummi dan 30 kepala keluarga tak pernah berhenti berharap untuk pulang. Tahun lalu, harapan itu menguat, ketika Ummi berdialog langsung dengan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur.
Ummi dan penghuni rusun dijemput bus untuk hadir di acara terkait Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) pada 11-14 Desember 2019 di Hotel Faza Surabaya. Sepenggal pidato Khofifah saat itu terus terngiang di telinganya. “Kita harus menghargai apa pun keyakinannya. Harus mematuhi Pancasila,” kata Ummi mengingat retorika itu.
Di tempat itu pula, Ummi memberanikan diri bertanya tentang nasib pengungsi untuk pulang, "jawaban Bu Khofifah masih proses, tapi sampai sekarang belum ada aksi yang nyata” katanya.
Remah ketan dan kelapa melekat di jemarinya, Ummi pun pamit membasuh tangan.
"Saya pernah mengirim surat resmi ke Gubernur Soekarwo, Khofifah, juga DPR. Tapi sampai sekarang tak kunjung mendapat jawaban," kata Tajul Muluk. Bersarung kuning ia menemani istrinya menjamu Ngopibareng.
“Harusnya Khofifah berkunjung ke sini karena kami memilih mutlak dia, tapi sampai sekarang belum” keluh Tajul sembari duduk.
Ia dan seluruh pengungsi berharap bisa pulang, meneruskan hidup dan mewariskan peninggalan pendahulunya pada anak cucu mereka, hidup rukun berdampingan dalam perbedaan.
"Kami sebenarnya menuntut adanya kejelasan, bagaimana kehidupan anak kami kelak. Kami ingin pulang, kami tidak ingin Sampang menjadi contoh untuk terjadinya konflik di daerah-daerah lain. Kami ingin hidup rukun” harapnya.
Siang itu, azan Zuhur berkumandang dari Masjid Al Imam. Letaknya sepelemparan batu dari Rusun Puspa Agro. Tiga penghuni syiah nampak berjajar di antara saf jamaah, tepat di belakang imam. Berpeci hitam, bersarung dan berkemeja, mereka mengikuti sang imam.
Sederet dengan warga lokal dan pengungsi lain, tiga jamaah leluasa menunaikan kunut di antara salat pada rakaat kedua.
Situasi yang tak asing dialami warga Syiah Sampang, minoritas yang mendapat penerimaan dari warga Sidoarjo pada umumnya. "Waktu Salat Ied (hari raya Idul Fitri) kemarin, kami juga salat di masjidnya Muhammadiya dengan kawalan polisi. Di sana kami salat dengan cara Syiah," kata Ummi di ujung perjumpaan.
Advertisement