Penghayat Kepercayaan Menolak Rekomendasi MUI
Rekomendasi hasil Rakornas Majelis Ulama Indonesia (MUI)yang menyatakan, perlu Kartu Tanda Penduduk (KTP) khusus untuk penghayat kepercayaan, ditolak oleh penganut penghayat kepercayaan. Menurut mereka, pembedaan KTP bagi penghayat kepercayaan malah memperuncing diskriminasi antarwarga.
Wakil Ketua Persatuan Warga Sapta Darma, Dian Jennie C mengatakan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), sebagai induk dari penganut kepercayaan di Indonesia tetap merujuk kepada putusan Mahkamah Konstitusi, dimana agama di dalamnya termasuk kepercayaan.
"Sikap kami jelas. Jika KTP yang merupakan identitas WNI dibedakan bentuknya hanya karena beda keyakinan, maka bangsa kita sudah sakit kalau benar-benar dilaksanakan," kata Dian.
Dia menambahkan, dalam pertemuan dengan MLKI sekitar seminggu lalu, organisasi ini sudah bersikap, jika format pencantuman kepercayaan, dalam KTP harus sejajar dengan agama. Contoh format kolom penulisan dalam KTP yaitu, "Agama/Kepercayaan".
Atas sikap MLKI ini, kata Dian, Kementerian Dalam Negeri juga menyatakan tetap konsisten menjalankan putusan MK, karena putusan itu bersifat mengikat. "Saya pikir, MUI terlalu jauh, karena KTP menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri.
Sebelumnya, MUI melalui Ketua Umumnya, KH Ma`aruf Amin mengatakan, perlu diterbitkan KTP khusus untuk penganut kepercayaan dengan tanpa mengubah KTP yang sudah ada di masyarakat.
"MUI mengusulkan KTPnya itu dibuat secara khusus saja. Supaya tidak menimbulkan masalah dan penolakan, tapi keinginan MK itu supaya terpenuhi," kata KH Ma`aruf Amin seperti dikutip Antara.
Kata Ma'ruf, pemerintah cukup mencetak KTP yang mencantumkan kolom aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan jumlah warga yang menganut penghayat kepercayaan. Pemerintah tak perlu mengubah KTP yang ada dengan menambahkan aliran kepercayaan.
"KTP yang sudah ada tetap saja, karena agama tidak boleh disejajarkan dengan aliran kepercayaan," kata Ma'ruf.
Selain itu, jika mengubah KTP yang sudah ada, dianggap tidak efisien karena akan menelan biaya besar. Pembuatan KTP baru hanya dibutuhkan bagi warga yang menganut penghayatan kepercayaan.
"Supaya lebih efisien, dibuatkan untuk mereka saja, kalau bikin baru lagi, nanti ada tiang listrik yang ketabrak lagi," kata Ma`aruf. (amr)