Penghargaan Amnesti Internasional bagi Aung San Suu Kyi Dicabut
Akhirnya Amnesty International menunjukkan sikap tegas terhadap Aung San Suu Kyi. Dengan secara resmi mencabut penghargaan yang pernah diberikan kepadanya. Aung San Suu Kyi dinilai telah gagal mencegah atau menghentikan kekejaman serius terhadap kelompok minoritas Muslim-Rohingya di negaranya.
Organisasi kemanusiaan tersebut pada 2009 telah menganugerahi penghargaan Ambassador of Conscience atau Duta Besar Hati Nurani kepada pemimpin de facto Myanmar itu. Beberapa tokoh yang pernah memenangkan "Ambassador of Conscience" Amnesty International mencakup pemimpin Afrika Selatan Nelson Mandela, aktivis Pakistan Malala Yousafzai, dan pembangkang China Ai WeiWei.
Sekretaris Jenderal Amnesty International, Kumi Naidoo, menyebut Suu Kyi telah melakukan pengkhianatan terhadap terhadap nilai-nilai yang pernah dibelanya. Pihak Amnesty International juga telah mengirimkan surat kepada Suu Kyi mengenai pencabutan penghargaan tersebut. Demikian dalam surat pernyataan yang dirilis pada Senin 11 November 2018.
Naidoo mengekspresikan kekecewaan Amnesty International atas kenyataan, meskipun telah mencapai separuh dari masa jabatannya dan setelah delapan tahun dibebaskan dari tahanan rumah, Suu Kyi tidak menggunakan otoritas politik dan moralnya untuk menjaga HAM, menegakkan keadilan dan kesetaraan.
"Sebagai seorang Ambassador of Conscience Amnesty International, harapan kami adalah Anda melanjutkan otoritas moral Anda untuk menentang ketidakadilan dimanapun Anda melihatnya, termasuk di Myanmar sendiri," kata Naidoo.
Naido menyebut Suu Kyi telah menutup mata terhadap kekejaman militer Myanmar dan meningkatnya serangan terhadap kebebasan berekspresi di negara tersebut.
"Sebagai seorang Ambassador of Conscience Amnesty International, harapan kami adalah Anda melanjutkan otoritas moral Anda untuk menentang ketidakadilan dimanapun Anda melihatnya, termasuk di Myanmar sendiri," kata Naidoo dalam surat tersebut.
"Hari ini kami sangat kecewa menyampaikan bahwa Anda tidak lagi mewakili simbol harapan, keberanian, dan pembela hak asasi manusia."
"Amnesty International tidak mempunyai alasan untuk tetap mempertahankan status Anda sebagai penerima penghargaan Ambassador of Conscience. Oleh karena itu, dengan sangat sedih kami menariknya dari Anda," tambah Naidoo.
Amnesty International menganugerahi penghargaan Ambassador of Conscience, yang merupakan penghargaan Hak Asasi Manusia terbesar pada 2009 kepada Suu Kyi atas perjuangannya yang secara damai membela demokrasi dan hak asasi di Myanmar. Amnesty International memberi penghargaan tersebut pada saat Aung San Suu Kyi masih berada di dalam penjara.
Saat akhirnya Suu Kyi dapat menerima penghargaan tersebut secara langsung pada 2012, dia menitipkan pesan kepada Amnesty International agar tidak berhenti mendukung dan mendukung negara Myanmar.
"Amnesty International mengamini permintaan Suu Kyi tersebut dengan sangat serius dan oleh karena itulah kami tidak pernah berhenti bersuara atas pelanggaran HAM di Myanmar. Kami akan terus melanjutkan perjuangan keadilan dan HAM di Myanmar, dengan atau tanpa Aung San Suu Kyi," kata Kumi Naidoo.
Pembebasan Suu Kyi dari Tahanan Rumah
Pemerintah Myanmar yang dipimpin militer pada 1989–2010 berulangkali menempatkan Suu Kyi dalam tahanan rumah karena perannya sebagai pemimpin oposisi politik dan aktivis pro-demokrasi. Ketika itu negara-negara Barat dan kelompok-kelompok HAM, termasuk Amnesty International, berulangkali menyuarakan pembebasannya.
Selama menjalani tahanan rumah, Suu Kyi dianugerahi Nobel Perdamaian Tahun 1991. Pada tahun 2009, Amnesty International juga memberinya penghargaan tertinggi "Ambassador of Conscience."
Suu Kyi Tidak Pernah Bersuara Membela Muslim-Rohingya
Tetapi sejak menjadi pemimpin de facto di Myanmar pada April 2016, Suu Kyi dan pemerintahannya tidak pernah mengutuk atau berupaya menghentikan pembantaian yang dilakukan militer terhadap kelompok minoritas Muslim-Rohingya di negara bagian Rakhine.
Pada Agustus 2017 militer Myanmar melakukan kampanye bumi hangus secara besar-besaran terhadap sebagian besar desa Muslim-Rohingya, yang disebut sebagai pembalasan terhadap serangan militan Rohingya yang menewaskan sepuluh polisi Myanmar. Lebih dari 700 ribu warga Muslim-Rohingya melarikan diri dari aksi kekerasan itu ke Bangladesh, di mana para penyintas memberi kesaksian tentang pembantaian yang mengerikan, antara lain: pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran desa-desa. PBB menyebut pembantaian itu sebagai bentuk klasik pembersihan etnis.
Selama peristiwa tersebut, Aung San Suu Kyi dikecam keras dunia internasional karena sikap bungkamnya. Ketika akhirnya berbicara, ia menolak dan meremehkan tuduhan terhadap militer Myanmar.
Suu Kyi Tinggalkan Nilai-Nilai HAM
Seperti yang telah kita lihat dalam pemerintahan sipil yang dipimpinnya, mereka telah menciptakan permusuhan terhadap warga Rohingya, dengan menyebut mereka sebagai teroris, menuduh mereka membakar rumah sendiri dan memalsukan perkosaan yang terjadi”.
Demikian kata Manajer Advokasi Amnesty International untuk Asia Pasifik Fransisco Bencosme, dikutip VOA. “Media pemerintah dan pemerintah sipil dimana Suu Kyi memiliki otorita langsung, telah sangat terlibat dalam penerbitan laporan-laporan yang memanas-manasia dan tidak manusiawi terhadap Rohingya".
Dalam suratnya, Naidoo mengatakan mantan ikon hak asasi manusia itu tidak saja meninggalkan nilai-nilai yang dipromosikannya selama beberapa puluh tahun ini, tetapi juga "memilih untuk mengabaikan penindasan brutal dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan militer terhadap Rohingya dan kelompok minoritas di Kachin, dan di negara bagian Shan di utara".
Amnesty International juga mengecam pemerintahan Suu Kyi karena gagal mencabut aturan hukum yang represif, termasuk beberapa aturan hukum yang digunakan untuk menangkap Suu Kyi dan aktivis-aktivis pro-demokrasi. "Sebaliknya Suu Kyi secara aktif membela penggunaan undang-undang semacam itu, khususnya keputusan untuk mengadili dan memenjarakan dua wartawan Reuters karena mendokumentasikan pembantaian militer Myanmar".
Berbeda dengan Amnesti Internasional, Ketua Yayasan Nobel Lars Heikensten mengatakan meski kecewa terhadap semua langkah Aung San Suu Kyi, namun pihaknya memutuskan tidak akan mencabut hadiah Nobel Perdamaian yang sudah diberikan kepada Suu Kyi.
Yayasan Nobel yang berbasis di Stockholm memantau semua proses penghargaan yang diberikan dari berbagai lembaga di Swedia dan Norwegia. (afp,voa/adi)
Advertisement