Penghambat Kemajuan Ternyata Disebabkan Sikap Ini, Kata Haedar
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, tradisi ilmu merupakan perwujudan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW.
“Iqra menjadi wahyu pertama. Iqra ini menjadi wahyu untuk membangun peradaban,” ucap Haedar Nashir.
Ia mengungkapkan hal itu, dalam serangkaian acara Launching Buku Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah karya Mohammad Djazman Al Kindi, Buku Dunia Barat dan Islam karya Sudibyo Markus, serta SM Corner Uhamka, di Aula FKIP Uhamka, Jakarta, Senin 30 September 2019.
Haedar mengapresiasi Djazman Al-Kindi sebagai pekerja keras, namun kurang dikenal karena tidak termasuk tokoh panggung.
“Dalam tradisi mazhab Frankfrut atau tradisi positivisme, Pak Djazman sebagai emansipatoris ilmu. Ilmu bukan sekadar menara gading, tetapi terwujud dalam dunia nyata. Ilmu dalam Muhammadiyah harus mewujud di dalam kehidupan. Harus ada manifestasi ilmu dalam amal,” ucap Haedar.
Selain menyelaraskan ilmu dan amal, Pak Djazman juga membangun sistem.
“Kiai Dahlan telah menginggal, namun Muhammadiyah terus belangsung karena sistem,” tuturnya. Menurut Haedar, bangsa Indonesia kadang tidak sabar dalam membangun sistem, sehingga terjadi diskontinuitas dan disorientasi di banyak bidang. “Tidak banyak elit negeri yang visioner seperti itu.”
Haedar berharap supaya generasi ke depan bisa membangun sistem yang baik. Sisi lain, Haedar menyebut bahwa budaya komunalitas yang meninabobo juga kadang menghambat kemajuan. Di sinilah perlu membangun sistem yang profesional dengan basis ilmu. Muhammadiyah memberi perhatian penuh pada upaya mencerdaskan akal budi manusia.
“Muhammadiyah membangun sistem dengan basis intelektual dan modal visi kenegarawanan,” ulasnya.
Tidak hanya di wilayah praktis, namun juga praksis. Praksis adalah amal yang berbasis ilmu. “Tugas generasi muda berat. Harus belajar ilmu untuk kemudian beramal dengan ilmu itu.”
Haedar menyatakan, tidak banyak orang Muhammadiyah yang menguasai basis epistemologi dan teori-teori sosial, sehingga gagal memahami masyarakat. “Tanpa penguasaan ilmu, akan gagap membaca realita.”
Haedar juga berharap para kader terus mengembangkan Muhammadiyah menjadi center of excelent. Untuk itu, diperlukan culture, model, jaringan, dan grand design.
"Muhammadiyah harus terus bergerak dalam visi ini. Kemajuan peradaban lain tidak tiba-tiba, tapi dibangun dengan proses panjang," tuturnya.
Terkait dengan buku karya Wakil Ketya Lembaga Hubungan Luarnegeri dan Kerjasama Internasional Sudibyo Markus, Haedar menyebut, “Sudibyo Markus memperkenalkan paradigma baru.”
Memahami Islam dan Barat membutuhkan paradigma baru. Menurutnya, dalam relasi Barat dan Islam, dibutuhkan dialog antaragama dan antar-peradaban. Jika tidak, akan terjadi konflik.
Tren dunia hari ini masih didominasi oleh banyak konflik kepentingan. Sisi lain, Haedar menyebut teori Fukuyama tentang peneguhan identitas yang semakin meruncing dan mengeras.
“Ingin kembali ke masa lampau dengan kecenderungan konflik antaridentitas dan kecenderungan untuk saling menginvasi,” ulas Haedar Nashir.
Haedar secara khusus mengajak para mualaf meniru Sudibyo Markus. Ketika memilih agama baru dengan sepenuh kesadaran, tidak kemudian menjelek-jelekkan agama sebelumnya, yang justru meruncingkan konflik.
“Pak Sudibyo memberi contoh.” Menjadi pemeluk agama baru, tanpa perlu mengganti bajunya.
Sudibyo Markus menyebut, buku ini menjadi bagian kecil dari sumbangsih untuk mewujudkan perdamaian dunia. Menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan untuk kehidupan umat manusia.
“Umat beragama harus sanggup menjadikan diri mereka sebagai instrumen bagi perdamaian," kata Haedar Nashir.
Buku ini memuat empat bagian penting dari sejarah dunia tentang hubungan Islam dan Barat, yaitu: Perang Salib, Konsili Vatikan II, A Common Word between Us and You atau Kalimatun Sawa, dan Agenda for Humanity. Tidak hanya membahas hal itu di tataran global, namun juga di Indonesia.
Advertisement