Pengembang: DP KPR Turun Tak Otomatis Dongkrak Bisnis Properti
Kebijakan Bank Indonesia (BI) melonggarkan Loan to Value (LTV) untuk kepemilikan rumah kedua dan seterusnya memberi angin segar bagi bisnis properti. Namun untuk mendongkrak sektor itu masih butuh perbaikan makro ekonomi.
"Sebetulnya, melambatnya bisnis properti beberapa tahun terakhir bukan soal uang muka atau down payment kredit kepemilikan rumah (KPR). Tapi lebih soal daya beli," kata Mohamad Ilyas, pengembang Jawa Timur pemilik Chalidina Group.
Dia meyakini, persoalan yang membelit dunia bisnis properti di daerah adalah persoalan makro ekonomi. Masalah ini yang membuat daya beli masyarakat terhadap produk properti menjadi turun.
"Dalam situasi demikian, jualan unit rumah di daerah sekarang lebih susah. Jadi bukan persoalan KPR atau daya dukung kebijakan perbankan," kata pengembang yang bergerak di segmen menengah dan bawah di Surabaya dan Sidoarjo ini.
Menurut pengembang muda kelahiran Surabaya ini, kalau pun ada pengaruhnya, pelonggaran LTV ini tidak akan banyak mendongkrak permintaan KPR. Kalau naik, biasanya berbanding lurus dengan terjadinya pembatalan rumah akibat limit persetujuan KPR dari bank turun akibat kemampuan bayar konsumen.
Persetujuan KPR tidak hanya ditentukan kemampuan konsumen menyediakan uang muka atau DP. Tapi juga kemampuan mengangsur yang berbanding dengan pendapatan pasti bulanan konsumen properti.
"Banyak calon pembeli properti yang mundur karena limit KPR dari bank tidak sesuai dengan yang diharapkan," kata Ilyas kepada ngopibareng.id di Surabaya.
Sebelumnya Ketua DPD REI Jatim Dani Wahid juga menyinggung masalah ini. Disebutkan, sebetulnya kebanyakan konsumer Jatim punya kemampuan bayar kredit di atas penghasilan resminya. Ini karena istrinya ikut bekerja.
"Namun, karena ketatnya aturan perbankan dalam penentuan jumlah kredit yang disalurkan dan batas kemampuan nasabah, membuat serapan KPR tidak besar," katanya.
Seperti diketahui, BI telah membuat kebijakan baru yang menurunkan LTV untuk kepemilikan rumah kedua dan seterusnya menjadi 5 persen. Kebijakan yang menurunkan uang muka alias DP KPR ini akan berlaku mulai 2 Desember 2019.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, pelonggaran tersebut diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit.
BI mencatat penyaluran kredit hingga Juli 2019 sebesar 9,7%. Ini melambat dari bulan sebelumnya sebesar 9,9%. Sementara KPR tercatat tumbuh 12,3%, melambat dibanding periode yang sama tahun lalu 13,7%.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung mengakui bahwa kebijakan ini untuk mendorong pertumbuhan KPR. Dia berharap kebijakan ini bisa mendorong pertumbuhan KPR di segmen-segmen tertentu. BI mentargetkan bisa tumbuh pada kisaran 10-12 persen.