Pengeboman Disinfektan Dilakukan di Palu
Helikopter MI-8 mulai melakukan water-bombing atau pengemboman material disinfektan di wilayah terdampak likuifaksi, seperti Petobo, Balaroa, dan Jono Oge; Palu Sulawesi Tengah. Pengemboman dilakukan agar merata karena cakupan wilayah yang luas dan kondisi lapangan yang berpotensi terjadi amblesan.
Kepala Pusat Data Informasi dan Gumas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, Kamis 18 Oktober 2018 mengatakan, BNPB mengirimkan helikopter untuk membantu operasi water-bombing yang dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Kementerian Kesehatan dan Kesehatan TNI.
Proses pengeboman dimulai dengan pengisian material disinfektan ke dalam bucket atau ember yang telah dipersiapkan personel TNI melalui mobil tanki.
Penanganan wilayah terdampak likuifaksi tidak hanya melalui pengemboman udara, tetapi juga fogging atau penyemprotan oleh para personel di darat. Langkah tersebut telah dilakukan di wilayah-wilayah yang dapat dijangkau di Petobo dan Balaroa.
Penyemportan juga dilakukan di halaman rumah sakit yang digunakan untuk pengumpulan jenazah yang berhasil dievakuasi, seperti RS Undata, RS Madani, dan RS Bhayangkara.
"Tindakan ini merupakan upaya untuk membasmi vektor yang dapat mengancam kesehatan lingkungan. Namun untuk solusi jangka panjang, penimbunan wilayah terdampak likuifaksi harus segera dilakukan," kata Sutopo.
Sutopo mengatakan, pengeboman maupun penyemprotan disinfektan ini merupakan upaya antisipasi penyebaran penyakit melalui vektor seperti lalat, kecoa, atau tikus.
Banyaknya korban meninggal yang diperkirakan masih tertimbun bangunan maupun tanah mendorong upaya antisipasi tersebut. Di sisi lain, operasi evakuasi korban meninggal telah dihentikan tim gabungan pada 12 Oktober 2018 lalu, meskipun tidak tertutup kemungkinan mereka melakukan operasi evakuasi ketika mendapatkan laporan dari warga.
Penimbunan wilayah terdampak untuk dijadikan sebagai ruang publik sempat disampaikan pada pembahasan penanganan ke depan.
Dikutip dari rilis Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) pada Selasa lalu (16/10) bahwa Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulteng Ridwan Mumu menyampaikan lokasi Balaroa dan Petobo akan ditimbun terlebih dahulu dan ditetapkan sebagai pemakaman massal.
Selanjutnya pemerintah setempat akan menutup lokasi tersebut dan tidak boleh lagi ada pembangunan karena akan dibuat sebagai kawasan hijau dan monumen di dua lokasi tersebut.
Sementara itu, Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan dr. Ahmad Yurianto merekomendasikan penimbunan di wilayah terdampak likuifaksi; seperti di wilayah Petobo yang lapisan tanahnya terangkat akan ditimbun.
Cara terbaik adalah menimbun dengan tanah seperti selayaknya memakamkan jenazah dalam kehidupan masyarakat sehari hari.
"Pertimbangan terbaik dalam penanganan jenazah yang belum diketemukan setelah hari ke-7 adalah dengan tetap memakamkan di lokasi yang diduga jenazah itu berada,” ujar Yurianto.
“Ini adalah bentuk penghormatan terhadap jenazah tersebut, di samping kemungkinan untuk bisa menemukan jenazah dalam keadaan utuh sangat kecil kemungkinannya, penggalian jenazah juga sangat berisiko terhadap penyebaran dan penularan bakteri-bakteri berbahaya bagi kesehatan lingkungan sekitar," ujarnya.
Yurianto juga menyampaikan bahwa perlu dilakukan oleh dinas terkait untuk melakukan pengecekan kualitas air tanah secara berkala.
Selain itu, upaya yang perlu dilakukan ketika melalukan penimbunan yaitu pembuatan drainase yang baik agar air hujan bisa terkumpul dengan baik dan bisa diintervensi sebelum masuk sungai. "Ideal jika timbunan ditanggul dan drainase dibuat dari semen,” ujarnya.
Hasil analisis sementara pemetaan secara spasial menunjukkan bahwa wilayah terdampak likuifaksi paska gempa Sulteng menyebabkan pengangkatan dan amblesan di Balaroa, Kota Palu, sedangkan jumlah perkiraan rumah terdampak mencapai 1.045 unit.
Luas wilayah terdampak mencapai 47,8 hektar. Jumlah perkiraan rumah terdampak di Petobo, Kota Palu mencapai 2.050 unit dengan luas wilayah 180 hektar, sedangkan di Jono Oge, Sigi, mencapai 366 unit dengan luas wilayah 202 hektar.
Sekadar diketahui, Likuifaksi merukan fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, seperti getaran gempa bumi. Sementara itu, berdasarkan penelitian Badan Geologi pada 2012 menyebutkan bahwa wilayah Palu merupakan wilayah dengan potensi likuifaksi sangat tinggi.
Gempa magnitudo 7,4 yang mengguncang beberapa wilayah di Sulteng pada akhir September lalu mengakibatkan korban meninggal dunia mencapai 2.103 jiwa, hilang 680, luka-luka 4.612, dan mengungsi 274.195.
Ribuan orang diperkirakan meninggal dunia dan tertimbun di wilayah terdampak likuifaksi. Pemerintah Provinsi telah memperpanjang status tanggap darurat hingga 26 Oktober 2018. (man)