Ribuan Warga Sekitar Dolly Terpaksa Tutup Usaha
Sekelompok warga bekas lokalisasi Dolly-Jarak menggugat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang dianggap abai memperhatikan kesejahteraan mereka,--pasca ditutupnya tempat prostitusi ini. Mereka menuntut Pemkot Surabaya membayar ganti rugi sebesar Rp 270 miliar.
Gugatan sebesar Rp 270 miliar itu, dinilai lebih kecil dibanding perhitungan sebelumnya. Salah satu tokoh warga yang mengajukan class action, Subeki Yanto (56) mengatakan denda yang dituntut warga sebenarnya mencapai Rp 360 miliar.
"Sebenarnya nilai total Rp 360 miliar, itu terdiri atas ganti rugi materil dan imateril," ujar pria yang akrab disapa Yanto ini, saat ditemui ngopibareng.id.
Ia menuturkan, hitungan jumlah itu didapat setelah melalui proses perhitungan yang ketat, berdasarkan total kerugian yang dialami 1.800-an warga, yang dulunya menggantungkan nasibnya di sekitar lokalisasi.
Warga yang dimaksudkannya bergantung nasibnya di wilayah lokalisasi, bukanlah warga yang terlibat langsung di bisnis itu. Melainkan warga yang berprofesi sebagai penyedia lokasi parkir, warung kopi, penjual makanan kecil, pedagang kaki lima, dan lain lain.
"Itu totalannya parkir segini, warung segini, dikalikan sebulan, dikalikan setahun, dikalikan lagi berapa tahun dari ditutup sampai sekarang, ada yang pedagang ada yang rumah musik, ini beda-beda kerugiannya," ujar Yanto.
Pasca penutupan Dolly-Jarak, Yanto mengklaim pendapatan mereka turun drastis dan terus memburuk hingga sekarang. Kata Yanto, Pemkot Surabaya memang pernah menjanjikan kompensasi sebesar Rp 20 miliar saat akan menutup lokalisasi itu. Namun yang berhak mendapatkannya ternyata hanya para pekerja seks dan mucikari saja.
Warga yang bukan pekerja seks dan mucikari pun hanya bisa melongo karena tak kecipratan kompensasi. Pendapatan warga yang menggantungkan pencaharian dari lokalisasi pun akhirnya terpuruk dan semakin memburuk sampai sekarang.
Dia mencontohkan apa yang dialaminya sendiri. Yanto dulunya punya usaha penyedia jasa parkir, dan warung kopi di Jarak-Dolly. Itu terjadi sekitar tahun 2000-an.
"Dulu (saat lokalisasi masih buka) parkir saya sehari bisa Rp 250 ribu, warung kopi saya ini bisa sampai Rp 800 ribu bersih dalam sehari," ujar Yanto yang kini berprofesi sebagai penjual es kelapa.
"Sekarang penghasilan saya nol," tambah Yanto, yang bertempat tinggal di Girilaya, Putat Jaya, Surabaya ini.
Tak hanya Yanto, perekonomian yang memburuk juga dirasakan oleh Sulastri (65). Ibu empat orang ini adalah penjual makanan ringan keliling di sekitar Jarak-Dolly sejak 2002 lalu.
Sulastri, setiap harinya harus berkeliling dengan menenteng dua keranjang makanan besar. Dulu, sebelum lokalisasi ditutup, ia menjajakan makanan daganganya kepada para pelanggan rumah musik atau karaoke di Jarak Dolly.
Namun, setelah lokalisasi dan sejumlah rumah musik ditutup, Sulastri pun kehilangan mata pencahariannya. Ia kini hanya menjajakan dagangannya ke rumah-rumah warga. Pengahasilannya pun merosot tajam
"Suami saya stroke, saya harus berjualan seperti ini tiap hari, ya begini ini dagangan saya, biasa orang nyebutnya tambul," kata Sulastri.
Sulastri mengatakan, dulu Pemkot Surabaya menjanjikan bakal menyediakan lapangan kerja, dan lapak kerja yang layak bagi warga terdampak. Namun, kenyataanya, kata dia harga sebuah stand di pasar di jalan Putat Jaya saja disewakan dengan harga mahal.
"Sebagai pedagang yang hanya jual makanan seperti ini ya tidak mampu untuk bayar sewa semahal itu, mas," kata dia.
Sedangkan sejumlah UMKM yang selama ini selalu didengungkan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, kepada publik, ternyata hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Dan tak menyentuh warga terdampak yang lain. Upaya dan janji Pemkot soal penyediaan lapangan kerja tak dirasakan sebagian besar warga terdampak.
Bagi Yanto, Sulastri, dan warga terdampak lain, sebenarnya tak masalah jika Pemkot Surabaya menutup lokalisasi di wilayah ini. Yang terpenting dan diminta pihaknya kini adalah perkara normalisasi kembali perekonomian warga sekitar. (frd/wit)
Advertisement