Penganut Kristiani Palestina Dilarang Ziarah ke Jerusalem
Penganut Kristiani Palestina yang mengenakan pakaian Sinterklas untuk Natal telah dilarang oleh pasukan Israel memasuki Jerusalem, salah satu tempat paling suci di dunia buat umat Kristiani, tempat Yesus dipercaya telah tinggal dan berdoa.
Secara umum, umat Kristiani Palestina dari Tepi Barat Sungai Jordan --seperti timpalan Muslim mereka-- tak bisa memasuki Jerusalem tanpa izin khusus dari pemerintah Yahudi.
Banyak pemeluk agama Kristen Palestina sekarang hidup di permukiman terkucil yang telah diputus satu sama lain dengan "tembok pemisah" Israel --yang membentang di seluruh Tepi Barat --yang diduduki Israel.
Pada Senin 25 Desember lalu, beberapa "Sinterklas" Palestina merayakan Natal di Kota Bethlehem, yang berada sekitar 10 kilometer di sebelah selatan Jerusalem dan dipandang sebagai tempat bersejarah kelahiran Yesus.
Sebagian dari mereka membawa spanduk, yang bertuliskan, "Kami ingin Palestina yang bebas buat Natal," dan "Kami ingin Palestina tanpa permukiman Yahudi." Sementara itu, para pejabat Palestina di Ramallah, Tepi Barat, mengatakan mereka telah mengizinkan 650 orang Kristiani Palestina dari Jalur Gaza, yang diblokade Israel, untuk memasuki Tepi Barat --yang sebagian terutama berada di bawah administrasi Palestina-- untuk merayakan Natal.
Menurut laporan dari badan statistik resmi Palestina, lebih dari 46.000 orang Kristiani Palestina tinggal di Tepi Barat, demikian dilaporkan Kantor Berita Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu siang. Jumlah tersebut merupakan dua persen dari seluruh penduduk Palestina.
Ketika Palestina berada di bawah Dinasti Usmaniyah (Ottoman Turki) pada 1914, jumlah mereka mencapai lebih dari 10 persen.
Sementara itu, sebanyak 3.000 orang Kristiani Palestina diperkirakan tinggal di Jalur Gaza.
Setelah Israel berdiri pada 1948, kebanyakan orang Kristiani Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka dan menjadi pengungsi.
Saat ini, sebanyak 500.000 orang Kristiani Palestina tinggal di berbagai permukiman yang tersebar di seluruh dunia.
Tepi Barat dan Jerusalem Timur tetap terputus satu sama lain oleh tembok pemisah kejam Israel, yang pertama dibangun pada 2002 dengan tujuan nyata melindungi orang Yahudi dari serangan orang Palestina.
Militer Israel telah membangun pos pemeriksaan di sepanjang tembok itu, yang di beberapa daerah mencapai ketinggian delapan meter.
Selama bulan suci umat Muslim, Ramadhan, perempuan Palestina dari Tepi Barat --bersama dengan kaum pria yang berusia di bawah 12 tahun atau di atas 40 tahun-- diperkenankan memasuki Jerusalem, tapi hanya pada hari Jumat.
Pada penghujung tahun lalu, tentara Israel menembakkan gas air mata dan peluru karet setelah umat Kristiani Palestina di Bethlehem melancarkan demonstrasi untuk menentang keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. (an/am)
Advertisement