Pengamat UI: Jangan Ukur Radikalisme dengan Cadar
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariyah, berpandangan, upaya mendiskreditkan Islam semakin nyata.
Setelah Islam dipojokkan dengan isu terorisme, HTI, Khilafah, ISIS, Radikalisme,
anti Pancasila, intoleransi, sekarang disempurnakan dengan wacana larangan bercadar dan celana cingkrang yang digulirkan Menteri Agama Fachrul Razi.
"Persoalan di internal kementerian agama seabrek, itu saja selesaikan dulu. Jangan tiba-tiba ngurusi cadar dan celana cingkrang karena dihubung-hubungkan dengan radikalisme," kata Chusnul.
Dia menilai Menetri Agama Fachrul terlalu anggap sederhana radikalisme. "Apakah setelah tidak ada orang bercadar dan bercelana cingkrang, pertanda di Indonesia sudah tidak ada lagi radikalisme," tanya Chusnul.
Ia lantas membandingkan radikalisme di kelompok sekuler yang tak pernah disentuh. Ia Mengatakan bahwa mereka tidak bercadar, tapi radikal, dan membantai bangsa sendiri seenaknya. "Mengapa mereka itu tidak dianggap radikal?" tanya Chusnul.
Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi menggulirkan ide kontroversial soal wacana larangan bagi aparatur sipil negara (ASN/PNS) memakai cadar dan celana cingkrang di lingkungan instansi pemerintahan. Meski masih berupa kajian, Kemenag menilai ide ini positif dengan alasan keamanan.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mukti, mengatakan harus hati-hati mencermati wacana yang digulirkan Kemenag.
Menurut Mukti, ada dua hal yang harus dilihat secara seksama terkait rencana kebijakan Kemenag terkait dengan pelarangan pemakaian cadar di kantor Pemerintah.
Pertama, alasan kode etik kepegawaian. Kalau dia adalah pegawai, maka siapapun dia harus mematuhi kode etik pegawai. Bahkan dalam konteks pembinaan, kepatuhan kepada kode etik berbusana adalah bagian dari penilaian kinerja dan loyalitas kepada institusi.
Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar, tapi juga mereka yang berpakaian tidak sopan yang tidak sesuai dengan norma agama, susila, dan budaya bangsa Indonesia.
Selain itu, dalam ajaran Islam terdapat kewajiban menutup aurat baik bagi laki-laki dan perempuan. Di kalangan ulama terdapat ikhtilaf mengenai cadar sebagai salah satu busana menutup aurat. Sebagian besar ulama berpendapat bercadar bukanlah wajib. Perempuan boleh menampakkan muka dan telapak tangan.
"Muhammadiyah berpendapat bahwa bercadar tidak wajib. Yang perlu diluruskan adalah pemahaman mereka yang bercadar sebagai teroris atau radikal. Itu penilain yang sangat dangkal dan berlebihan," kata Abdul Mukti, kepada Ngopibareng.id, Minggu 3 November 2019.
Karena itu, kebijakan Menteri Agama yang melarang perempuan bercadar tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar HAM. Kebijakan tersebut harus dilihat sebagai usaha pembinaan pegawai dan membangun relasi sosial yang lebih baik.
Sementara Sekretaris Fatwa MUI Asrorun Niam berpandangan cadar dan celana cingkrang adalah permasalahan aksesoris yang tidak bisa distigmakan dan diasosiasikan sebagai terorisme.
"Cadar dan celana cingkrang bisa jadi masalah budaya, tetapi memiliki basis argumen keagamaan, karena terkait dengan masalah fiqiyyah.
Untuk penyelesaian masalah kasus terorisme harus proporsional, dan memahami masalah secara utuh, sehingga solutif dan tepat sasaran," ujar Asrorun, yang merangkap
Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Advertisement