Pengamat: Tamtama Tak Lazim Bawa Pistol Glock 17
Kasus tembak menembak anggota Polri di rumah Dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo terus menjadi bola liar di masyarakat. Kini, senjata api jenis pistol yang digunakan kedua anggota Polri menjadi perdebatan seru di media sosial, terutama senjata yang dipakai Bharada E yakni pistol jenis Glock 17.
Mantan Kepala Badan Intelejen Strategis TNI Laksamana Muda (Pur) Soleman B Ponto menyebut senjata jenis Glock 17 tersebut tidak lazim digunakan tamtama polisi.
Soleman B Ponto menyebut, senjata api jenis Glock di kalangan TNI hanya digunakan secara terbatas. "Memang kalau istilah saya Glock itu senjatanya raja-raja itu. Jadi kalau di Bais itu hanya saya yang megang," ujarnya.
Sedangkan senjata api yang digunakan ajudan, kata Soleman, terikat pada aturan dasar. Dirinya sebagai Kepala Bais pun tidak punya kewenangan untuk melanggar aturan dasar tersebut.
"Bahwa kalau dia senjatanya hanya FN, ya sudah FN, tidak bisa saya tingkatkan. Kalau saya tingkatkan, saya melanggar aturan atasnya kan," kata Soleman.
Sementara, pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengatakan terbatasnya penggunaan senjata api berdasarkan aturan dasar keprajuritan yang mengatur.
Disebutkan, seorang prajurit berpangkat Tamtama hanya boleh membawa senjata laras panjang dan sangkur. Itu pun hanya saat prajurit tersebut berjaga dalam tugasnya.
Kemudian, pada tingkat Bintara hanya dibatasi menggunakan senjata laras pendek, serta pada pangkat Perwira pun memiliki spesifikasi senjata tersendiri.
"Kalau kemudian penembak Bharada E ini menggunakan senjata Glock, ini lompatan yang jauh. Karena Bharada E ini adalah level paling bawah di kepolisian," kata Bambang Rukminto dikutip Antara, Minggu, 17 Juli 2022.
"Ini juga berkembang lagi Glock ini dari siapa dan fungsinya apa dalam diberikan kepada Bharada E ini," kata dia.
Tak hanya itu, Bambang mempertanyakan penggunaan pistol berjenis HS-9 yang disebut bahwa digunakan oleh Brigadir J atau Brigadir Novriansyah Yoshua.
"Dalam rangka apa dia membawa senjata itu? Oke lah dalam rangka pengawalan, apakah memang diperlukan senjata otomatis untuk mengawal itu? Apakah negara ini benar-benar mencekam, sehingga diperlukan senjata-senjata pembunuh seperti itu?" ucapnya.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu pun lantas menyebutkan, pada umumnya petugas kepolisian hanya membahwa senjata revolver dalam tugas penjagaan.
"Senjata organik yang digunakan Sabhara untuk mengawal distribusi uang kirim ke ATM-ATM itu cukup Revolver, 6 peluru. Sementara dalam kasus ini 17-18 peluru, seperti itu," katanya.
Kendati demikian, Bambang mengakui adanya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa penggunaan senjata atas rekomendasi pimpinan langsung.
Tetapi senjata yang direkomendasikan ini juga harus mengacu pada peraturan sebelumnya yang membatasi penggunaan senjata api tersebut.
"Kalau Tamtama ya maksimal revolver lah. Mengapa harus memakai Glock, hanya sekadar untuk mengawal Ibu Bhayangkari ke pasar, ngapain? Jadi aneh semuanya," katanya.
Sebagaimana dalam pemberitaan, Brigadir Nopryansah Yoshua alias Brigadir J tewas ditembak di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu. Dalam kasus ini disebutkan, polisi tembak polisi antara Brigadir J dengan Bharada E.