Pengamat: Politik Stigma Isu PKI Pada Pilkada Jember Mencederai Demokrasi
Pengamat kebudayaan Universitas Jember, Ikwan Setiawan, menyoroti penggunaan isu PKI pada Pilkada Jember 2024. Dosen Fakultas Ilmu Budaya itu menilai penggunaan politik stigma menggunakan isu PKI dapat mencederai demokrasi.
Ikwan mengatakan, memunculkan isu PKI dalam konteks masa kini merupakan tindakan yang memaksa generasi saat ini kembali ke masa lalu. Padahal masyarakat saat ini sedang berusaha mengembangkan demokrasi yang asyik.
Politik stigma menggunakan isu PKI, lanjut Ikwan, merupakan sisi gelap bangsa Indonesia, di mana dalam sejumlah pesta demokrasi di Indonesia, politik stigma yang salah satunya menggunakan isu PKI selalu dipakai oleh pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
Menurutnya, pihak tertentu menggunakan isu PKI untuk melegitimasi pemerintah atas tindakan yang kurang baik. Bahkan, pada tingkatan kritis, isu PKI selalu menorehkan luka sejarah.
Ikwan mengatakan, kalangan pakar budaya dan politik bahkan menyebut PKI merupakan terorisme negara. Negara kemudian menggunakan legitimasi peristiwa 1965 yang disebut gerakan 30 S/PKI untuk mengekang dan mencengkeram warganya.
"Saat bangsa berusaha menciptakan demokrasi yang asyik, kok tiba-tiba muncul calon bupati yang membawa isu itu kembali. Jelas itu merupakan tindakan kurang bijak," katanya, Jumat, 1 November 2024.
Upaya membawa isu PKI dalam konteks pilkada menjadi bukti bahwa calon kurang cerdas. Sebab, semestinya calon menyadari bahwa saat ini telah ada semangat baru untuk mengevaluasi politik stigma yang sering dipakai dalam politik Indonesia. Calon dalam Pilkada semestinya linier dengan semangat tersebut, bukan justru turut serta menggunakan politik stigma.
"Kok malah sekarang malah digunakan. Saya tidak tahu yang mendasari faktornya apa. Namun ini kurang baik buat politik Jember," ungkapnya.
Reaksi Sosial dan Kecerdasan Politik Warga
Ikwan menyatakan, sebuah implikasi wajar dalam penggunaan politik stigma isu PKI adalah munculnya reaksi sosial. Reaksi sosial terhadap isu PKI yang sedang berkembang dalam Pilkada Jember menandakan bahwa masyarakat tidak menginginkan politik stigma itu terus didaur ulang.
Berdasarkan pengamatannya sejauh ini, beragam reaksi sosial berupa pelaporan terhadap Bawaslu Jember. Tak hanya dari kalangan pendukung Paslon 01 tetapi juga dilakukan oleh basis massa pendukung paslon 02. Bahkan juga muncul gerakan mendesak aparat penegak hukum memberikan atensi terhadap isu tersebut.
"Ini reaksi sosial yang bisa kita baca, bahwa sejatinya kalau model narasi stigma dipelihara dampaknya kurang bagus. Saya melihat bukan hanya mengganggu stabilitas, tetapi juga mengarah kepada persoalan kebudayaan dan bangunan politik yang sudah terbangun terganggu lagi. Pada akhirnya isu ini tidak hanya memancing reaksi warga Jember, tetapi juga dari luar Jember," lanjutnya.
Lebih jauh, Ikwan mengatakan, tidak ada yang berhak menyalahkan munculnya reaksi publik. Karena reaksi publik merupakan bukti bahwa masyarakat Jember sudah cerdas dalam memahami dampak penggunaan politik stigma. Karena itu, publik merespons pernyataan yang disampaikan calon bupati.
Ia menilai warga mulai memahami bahwa politik stigma yang sering dipakai saat masa Orde Baru itu merupakan tindakan yang kurang bijak.
Ikwan berharap dengan adanya kejadian ini, seluruh pasangan calon bisa saling mengevaluasi. Pilkada merupakan proses demokrasi, bukan sekadar prosedural. Karena itu, setiap pasangan calon harus melakukan edukasi politik secara cerdas berdasarkan program dan visi misi ke publik. Bukan malah memancing publik menggunakan narasi yang bisa melukai salah satu calon ataupun pendukungnya.
"Kita memaknai positif munculnya reaksi sosial sampai terjadi pelaporan. Artinya publik tidak mau direcoki atau diwarnai dengan tindakan yang kurang bijak. Mereka ingin kontestasi politik berjalan dengan asyik, tanpa narasi stigma yang membenturkan warga," pungkasnya.