Pengamat: Carut Marut Minyak Goreng Karena Lemahnya Regulasi
Pengamat politik, Antonius Benny Susetyo mengatakan, kelangkaan minyak goreng terjadi karena kenaikan permintaan CPO yang dibarengi dengan ulah mafia untuk menimbun dan menjualnya ke luar negeri dengan harga yang lebih mahal.
"Kejadian ini akibat lemahnya regulasi dalam mekanisme kebutuhan pasar, selain kurangnya inovasi alternatif dari minyak kelapa sawit," kata Benny kepada Ngopibareng.id, Selasa, 22 Maret 2022.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu berseru kembalikan ekonomi pada jiwa Pancasila.
"Produksi hajat orang banyak dikuasai negara. Subsidi silang untuk minyak dapat diberlakukan. Serta pengawasan harus dilakukan. Jangan sampai minyak goreng untuk masyarakat diselewengkan. Ke depannya, harus diingat, politik pangan harusnya dikendalikan negara, bukan kartel atau mafia," katanya.
Benny menambahkan, produk pokok seperti minyak seharusnya dikuasai oleh negara. “Ini selaras dengan Pancasila. Negara memiliki otoritas untuk mengendalikan harga, bukan pasar. Jika pasar, (ini) menjadi liberal, bukan lagi Pancasila. Seharusnya tidak begitu, pasar tidak boleh mengendalikan; pasar harus tunduk pada regulasi,” ujarnya.
Perihal intervensi dan campur tangan pemerintah, Benny menilai belum sepenuhnya dilakukan. Ia mengambil contoh kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga di pasar, sehingga menjadi beban baru bagi masyarakat. Ini artinya Pemerintah belum maksimal melakukan penyelamatan.
Kata Benny, presiden sudah berupaya, dengan membentuk Badan Ketahanan Pangan, serta turun ke lapangan. "Problem kita saat ini adalah permintaan internasional terhadap CPO yang naik, tetapi kita gagal juga memetakan kebutuhan masyarakat Indonesia akan minyak ini,” katanya.
“Kita seharusnya punya kemampuan memetakan kebutuhan domestik, dan mendahulukannya dibandingkan permintaan dari internasional. Jutaan pengusaha dan masyarakat yang bergantung pada minyak, sekarang gulung tikar dan ini menyengsarakan,” ujar Benny.
Sebab itu, ia menuturkan pentingnya pengendalian negara terhadap pangan. Harus ada proteksi dari negara, dan pengendalian supaya tidak terjadi mafia penimbunan minyak. Industri yang terbukti melakukan penimbunan dapat diberikan sanksi, bahkan izinnya bisa dicabut.
Benny memberi opini mengenai apa yang harusnya dilakukan jajaran kementerian dalam menghadapi hal ini.
“Langkah konkretnya, setelah instruksi Presiden ada, para Menteri harus cepat dan tanggap. Politic will dibutuhkan, bukan hanya retorika semata, tetapi dengan cekatan membuat minyak goreng melimpah di Indonesia,” katanya.
Terpisah, Kasatgas Pangan Polri, Irjen Helmy Santika mengatakan, hingga saat ini belum ada tersangka dalam kasus mafia minyak goreng.
Pihak kepolisian masih melakukan pendalaman kasus-kasus berkaitan dengan kelangkaan minyak goreng itu. Ancaman hukuman bagi mafia pangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Menurutnya, pasal 107 UU 7/2014 mengatur hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp50 miliar.
Selain itu, kata Helmy, pasal 29 ayat (1) turut melarang pelaku usaha menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
"Bila memenuhi unsur tersebut, yakni bila ada motif mencari keuntungan pada saat terjadi kelangkaan serta menyimpan melebihi 3 bulan rata-rata penjualan plus satu, maka akan kami tindak tegas dengan tindak pidana," kata Helmy.
Helmy menegaskan Satgas Pangan Polri akan memperkuat pengawasan untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan bahan pokok. Menurutnya, polisi telah mengantisipasi peningkatan kebutuhan sembako menjelang Ramadan.
Harga minyak goreng sempat langka dalam beberapa hari terakhir. Masyarakat sampai harus mengantre demi mendapatkan 1 liter minyak goreng.
Saat ini minyak goreng mulai tersedia di pasaran, namun dengan harga tinggi setelah pemerintah mengubah harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng.