Pengamat: BUMDes di Jatim Belum Berkembang karena Mindset Berbeda
Meski pertumbuhan Badan Usaha Milik Desa atau di Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang signifikan. Namun, pertumbuhan itu masih berdasarkan kuantitas. Banyaknya BUMDes yang bermunculan itu, masih belum dibarengi dengan dengan kualitas pengelolaannya.
Berdasarkan hasil penelitian dosen STIE PGRI Dirgantara Jombang, Lina Nasihatun Navidah menyebut ada tiga masalah mendasar yang masih menyertai rata-rata BUMDes yang ada di Jawa Timur.
Masalah pertama adalah visi politik yang masih berbeda antara kepala desa dengan pengelola BUMDes. Biasanya, jika ada perbedaan visi politik antara kepala desa dengan manajemen BUMDes, akan berimplikasi pada penyertaan modal untuk BUMDes yang minim.
Namun, dalam beberapa kasus minimnya penyertaan modal dari pemerintah desa, sebenarnya tak menyurutkan manajemen BUMDes untuk tetap bergerak memulai usaha.
"Perlu revolusi mindset terhadap BUMDes itu sendiri. Dibutuhkan keberanian direktur BUMDes untuk memulai kegiatan usaha walaupun dengan keterbatasan penyertaan modal yang diberikan oleh pemerintah," kata Lina usai acara Pelantikan dan Rapat Kerja Daerah Persatuan BUMDes Indonesia, Jawa Timur di Hotel Green Red di Kabupaten Jombang, 13 Desember 2020.
Lina menyebutkan satu contoh BUMDes di Jawa Timur yang berhasil bertahan meski penyertaan modal dari pemerintah desanya kecil. BUMDes itu adalah BUMDes Karya Utama, Desa Sugihwaras, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun.
BUMDes ini awalnya hanya mendapat penyertaan modal dari pemerintah desa yang besarnya hanya Rp35 juta. Namun, sekarang malah sudah bisa memberikan Pendapatan Asli Daerah Desa (PADDes) sebesar Rp160 juta.
"Manajemen BUMDes-nya berani survive dalam menghadapi politik oleh kepala desa maupun perangkatnya," kata Lina.
Masalah kedua yang biasa dihadapi oleh BUMDes adalah ketidakpahaman kepala desa atas modal yang diserahkan kepada BUMDes. Banyak kepala desa masih menganggap jika BUMDes modalnya menjadi satu dengan pemerintah desa.
Padahal, permodalan BUMDes terpisah dengan pemerintah desa. Idealnya, BUMDesa harus diberi kewenangan agar bisa mengelola kegiatan usahanya. Kepala desa cukup memantau lewat perencanaan usahanya dan pelaporan keuangannya.
"Makanya butuh revolusi mindset kepala desa untuk paham bahwa permodalan itu berbeda dengan pemerintah desa," ujar Lina.
Masalah ketiga, adalah soal kesadaran warga desa untuk mau menghidupkan BUMDes. Caranya, dengan melakukan kegiatan kebutuhannya melalui Bumdes.
"Pengetahuan pemahaman tentang BUMDes yang belum dipahami masyarakat akan menjadi kendala dalam revitalisasi BUMDes," ujar Lina.
Advertisement