Pengamat: Boikot MetroTV Tunjukkan BPN Tak Siap Berkompetisi
Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie menilai sikap Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menolak Metro TV sebagai stasiun televisi penyelenggara debat keempat Pilpres 2019 pada Sabtu, justru menunjukkan pesan ketakutan dalam berkompetisi.
"Pesan ketakutan itu sekaligus mengisyaratkan ketidakpercayaan diri sebagai kelompok politik yang tengah berkompetisi," ujar Lely dalam keterangan tertulis yang diterima Kamis.
Dalam pandangannya, sikap itu tak lebih dari ketidakdewasaan BPN dalam menghadapi kontestasi politik.
"Jelas ini menunjukkan ketidakdewasaan politik dalam menyikapi framing media massa, antara yang bisa diangggap mendukung dan yang tidak mendukung. Padahal, dukungan rakyat tidak melihat apakah ada media yang mendukung atau tidak dalam framing berita," kata Lely.
Tanpa bermaksud menggurui, pemegang gelar Doktor dari Universitas Padjadjaran Bandung itu menyampaikan, secara sederhana framing adalah membingkai sebuah peristiwa. Dengan kata lain, dia gunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan atau media massa ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
"Dan sekali lagi, dukungan rakyat tidak melihat apakah ada media yang mendukung atau tidak dalam framing berita," tegas Ketua Program pasca Sarjana Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta tersebut.
Sebelumnya, Koordinator Juru Bicara BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, telah melayangkan surat keberatan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena menunjuk Metro TV sebagai televisi penyelenggara debat Pilpres 2019. BPN khawatir akan ada potensi pelanggaran dari Metro TV saat menyelenggarakan debat.
"Keberatan kami didasari surat KPI yang menyatakan ada potensi pelanggaran keadilan dan proporsionalitas pemberitaan terkait dengan Capres 01 dan 02," cuit Dahnil lewat akun twitternya @Dahnilanzar beberapa waktu lalu.
Lely menyarankan agar BPN segera menghentikan upaya pemboikotan terhadap media massa tersebut mengingat pers merupakan bagian dari pilar demokrasi.
"Proses demokrasi tidak bisa dilepaskan dari peran pers. Tidak zamannya lagi mendiskreditkan media penyampai pesan politik di tengah hegemoni media saat ini," tegasnya.
Jika kreatif, sambungnya, masih banyak cara yang bisa dilakukan BPN untuk menyampaikan pesan politiknya kepada masyarakat jika tak ingin menggunakan jalur media massa.
"Masih banyak media selain media massa yang bisa dipakai BPN untuk menyampaikan pesan politiknya. Bisa lewat organisasi, komunikasi interpersonal, bisa juga lewat kelompok kepentingan," kata Lely.
Lely juga berharap kepada semua pihak untuk menghentikan narasi-narasi negatif soal pemilu yang akan digelar kurang dari tiga pekan lagi itu. Bahayanya, jika narasi-narasi tanpa data dan fakta itu dipercaya masyarakat, demokrasi Indonesia justru akan kembali mundur ke belakang.
"Dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu yang akan digelar dengan cara menuduh seolah akan terjadi kecurangan, itu justru bagian dari upaya melemahkan proses demokrasi yang selama ini dilakukan. Padahal pemilu kita ini menjadi frame of referency (kerangka acuan) bagi negara lain dalam mengelola peristiwa politik yang sama," katanya. (ant)