Pengabdian Dini Dharmawidiarini Obati Pasien di Daerah Pelosok
Namanya dr Dini Dharmawidiarini, SpM(K), spesialiasi Kornea, Lensa dan Bedah Refraksi. Perempuan kelahiran Surabaya ini menjadi salah satu dokter andalan di RS Mata Undaan Surabaya.
Dini memulai kariernya menjadi dokter spesialis mata setelah selesai menempuh pendidikan dengan spesialisasi tersebut di tahun 2009. Lantaran memiliki jiwa sosial tinggi, melalui rekannya saat berkuliah, dr Dini bersemangat bergabung dengan sebuah Non Governmental Organization. Adalah The John Fawcett Foundation Indonesia yang berpusat di Bali.
Organisasi tersebut memiliki visi dan misi antara lain pemeriksaan mata dan operasi katarak gratis ke pasien yang tidak mampu, pemberian kacamata dan mata palsu gratis, operasi bibir sumbing dan program bantuan pendidikan.
Yang membuat dr. Dini tergerak dalam mengobati pasien di daerah terpencil ini karena tempat yang dituju tidak ada akses pelayanan kesehatan yang memadai. Terlebih tenaga ahli medis bidang spesialisasi matanya terbatas. Tak hanya itu, para pasien pun terkendala biaya untuk memperoleh pelayanan itu.
“Saya ingin agar bisa menolong mereka. Pasien ini bener-bener pasrah karena keterbatasan akses. Buta ya buta saja. Mau nyari pengobatan tetapi nggak ada dokter. Contohnya warga di Sumbawa Barat, untuk berobat harus menyeberang ke Lombok,” paparnya.
Dini menambahkan, “Mayoritas pasien yang kami sasar mereka yang kurang mampu, mereka nggak ada uang. Mereka saat itu tidak bisa membayar asuransi pemerintah dan belum ada BPJS”.
Selama bekerja di sana, dokter Dini mulanya belajar operasi katarak dengan teknik manual small insisi cataract surgery dengan training selama tiga bulan. Setelah pelatihan itu, dokter Dini mempraktikkannya langsung ke pasien.
“Dalam pelatihan itu kami menggunakan mata kambing dan mata babi. Selanjutnya baru menangani pasien dengan mengoperasi mata manusia secara langsung,” katanya.
Selama bergabung di The John Faucett Foundation hingga 2014, keseharian dokter Dini diisi dengan berkeliling ke wilayah terpencil untuk menjangkau pasien yang kurang mampu. Lantaran The John Faucet berkolaborasi dengan Tentara Angkatan Udara, terkadang, kala menuju lokasi dokter Dini menggunakan pesawat Hercules.
“Operasi katarak dilakukan di bus clinic kami. Jadi kami menjemput pasien ke daerah terpencil. Saya ditemani dokter Dharyata yang merupakan guru saya, serta ada juga dokter dari AU,” paparnya.
Dalam bertugas, dokter Dini tidak memiliki jam kerja yang menentu. Tergantung seberapa jauh lokasi yang dituju. Pernah dokter Dini harus berjibaku melawannya dinginnya udara karena harus berangkat pagi buta. Sementara, pulangnya larut malam bahkan harus bermalam jika daerah tujuan jauh.
“Jam kerjanya tidak tentu. Pernah berangkat pagi pukul 04.00 pagi, pulangnya pukul 19.00 WIB. Bahkan karena lokasinya jauh, meskipun di wilayah Bali terkadang menginap. Misalnya saat mengunjungi Singaraja, dan Karangasem,” katanya.
Lebih lanjut, demi menolong pasien dokter Dini pun rela menempuh perjalanan yang memakan waktu dan menguras tenaga. Terlebih, berpotensi membahayakan nyawanya. Dokter Dini bahkan harus beralih transportasi berulang kali. Sebab, belum tersedianya transportasi khusus menuju daerah yang dituju.
“Saat di Kalimantan medannya lumayan berat. Jalur daratnya jauh dan jalannya kurang mulus, perlu oper angkot beberapa kali. Di Sumba jalannya berkelok-kelok, kanan-kirinya jurang. Waktu tempuhnya lima jam. Kadang juga harus naik perahu untuk menyeberang pulau lain, tetapi kapalnya nggak datang sewaktu-waktu,” katanya.
Pada tahun 2014 dokter Dini memutuskan berhenti setelah lima tahun mengabdi di daerah terpencil. Pada tahun yang sama dokter Dini tetap mendedikasikan dirinya sebagai relawan konsultan dokter mata di organisasi yang telah membesarkan namanya itu. Selama lima tahun di sana, dokter Dini mengenang ada tiga pengalaman yang selalu membekas di benaknya. Salah satunya merupakan pasangan nenek dan kakek di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Keduanya tak bisa melihat akibat katarak.
“Pasangan kakek-nenek ini sudah lima tahun tidak saling melihat karena buta akibat katarak. Setelah dioperasi di waktu yang bersamaan, keduanya bisa melihat lagi. Pasangan ini lalu berpelukan dan berciuman, saya turut merasakan kebahagiaan mereka,” tuturnya.
Selain itu, pengalaman berkesan lainnya adalah ketika menangani seorang pasien anak di Alor, Nusa Tenggara Timur. Di daerah tersebut hampir seluruh peralatan medisnya terbatas. Sehingga dokter Dini tertantang mengoperasi anak tersebut dengan memaksimalkan peralatan yang ada.
“Saat mengoperasi anak ini dituntut dengan waktu yang lebih cepat karena obat biusnya umum dengan menggunakan sungkup di mana dokter anestesi harus memegang sungkup tersebut selama proses operasi. Beliau bahkan sampai jongkok di bawah pasien dan gemetar, karena saking lelahnya memegang sungkup. Namun, saat operasi berhasil kami sama-sama senang dan lega,” katanya.
Terakhir saat mengoperasi pasien anak usia empat tahun di pulau Bali. Sejak lahir pasien ini tidak bisa melihat. Setelah dioperasi dia tersenyum. Tak hanya itu, dia juga antusias membaca berbagai buku bacaan.
“Sehari setelah dioperasi anak usia empat tahun itu berlari-lari di taman. Saat diberi buku, rona wajah bahagianya terpancar di mukanya. Semua halaman dilihat sampai selesai, saya tersentuh melihatnya,” tutupnya.