Penetapan Upah yang Masih 'Tak' Ramah
Penetapan upah pekerja/buruh baik itu Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) kembali menuai polemik. Di Jawa Timur misalnya, keluarnya Keputusan Gubernur Nomor 188/629/KPTS/013/2018 tentang Upah Minimum 2019 langsung memantik reaksi buruh.
Apalagi, dasar yang digunakan oleh Soekarwo untuk menetapkan UMP masih menggunakan patokan PP Nomor 78 Tahun 2015 dimana upah minimum dihitung dengan rumusan upah tahun berjalan ditambah prosentase pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Dengan rumusan ini, artinya pemerintah ibarat hanya sebuah kalkulator yang cukup dengan gampang bisa menetapkan upah dengan cara mudah, menambah upah berjalan dengan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Padahal kebutuhan pekerja/buruh sejatinya tak semudah rumusan kalkulator, sehingga rumusan PP 78/2015 pasti akan selalu ditolak.
Sebenarnya ada Undang-undang nomor No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang harusnya lebih tinggi derajatnya dan bisa digunakan sebagai patokan pengupahan ketimbang PP 78/2015.
Dalam undang-undang itu menyebutkan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 Ayat 1). Maksud dari penghidupan yang layak adalah jika jumlah pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya mampu memenuhi kebutuhan hidup bagi pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Karenanya, sebelum penetapan upah, harusnya bisa dilakukan survei standar hidup layak (KHL). Ada puluhan item yang harus disurvei, misalnya harga beras, harga pakaian, harga sewa rumah yang dibagi 12 bulan, harga listrik dan sebagainya.
Sayangnya, survei KHL ini sangat jarang dijadikan patokan pemerintah. Apalagi, unsur tripartit pengupahan tidak hanya terdiri dari buruh dan pemerintah, namun juga ada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang tentu menginginkan agar upah minimum ditetapkan serendah mungkin.
Proses pembahasan tripartit di level kabupaten/kota inilah yang sering mengalahkan aspirasi buruh. Kalaupun tripartit di level kabupaten/kota dimenangkan buruh, maka belum tentu juga usulan dari kabupaten ini akan disetujui gubernur untuk ditetapkan menjadi UMP atau UMK.
Tentu kita masih ingat bagaimana tiga tahun terakhir, UMK Surabaya diusulkan lebih rendah dari Gresik dan Pasuruan, yang tiba-tiba usulan inipun dikembalikan oleh Gubernur Soekarwo untuk direvisi agar Surabaya tak lebih rendah dari daerah lainnya.
UMP Harusnya Jaga Disparitas Upah
Di Jawa Timur sendiri, UMP 2019 telah ditetapkan oleh Soekarwo pada Kamis 1 November 2018 sebesar Rp1.630.059 atau hanya mengalami peningkatan sebesar Rp121.164 (8.03 persen) dibanding UMP 2018 Rp1.508.894. UMP yang sangat rendah bila dibandingkan DKI yang kini telah ditetapkan sebesar Rp3.940.973.
UMP Jawa Timur sendiri sebenarnya tidak begitu berguna karena pengupahan tetap akan berpatokan dari UMK yang hingga saat ini masih dalam proses pembahasan. Lantas untuk apa sebenarnya UMP? Di provinsi yang memiliki kabupaten/kota beragam seperti Jawa Timur (tidak seperti DKI), maka UMP akan dijadikan perangkat yang akan menjadi dasar penetapan UMK terendah di Jawa Timur.
Persoalannya kemudian, apakah UMP di Jawa Timur bisa meningkatkan kesejahteraan buruh di daerah-daerah pinggiran? jawabannya tentu tidak. Apalagi di Jawa Timur saat ini terjadi disparitas upah yang cukup besar.
UMK di Pasuruan misalnya, antara kota dan kabupaten terpaut cukup jauh. Kota Pasuruan tahun 2018 misalnya menetapkan UMK sebesar Rp2.067.612 sedangkan Kabupaten Pasuruan mencapai Rp3.574.486 atau selisih lebih dari Rp1,5 juta, padahal kedua daerah itu bertetangga.
Begitu juga Kota Mojokerto, UMK tahun 2018 Rp1.886.387 dan berbeda cukup jauh dengan UMK Kabupaten Mojokerto yang mencapai Rp3.565.660. Padahal antara kota dan kabupaten Mojokerto hanya dipisahkan Sungai Brantas dengan harga kebutuhan pangan di dua daerah itu relatif sama.
Belum lagi jika UMK di daerah ring satu yakni Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto dan Gresik dibandingkan UMK di daerah pinggiran seperti Pacitan atau Madura. Jaraknya bisa mencapai Rp2 juta lebih.
Dengan UMP Jawa Timur yang kini telah ditetapkan Soekarwo hanya Rp1,6 juga dan perkiraan UMK di ring satu yang nantinya akan mencapai Rp3,9 juta, maka disparitasnya akan semakin lebar. Selisih bisa mencapai Rp2,5 juta.
"Soekarwo tak punya keberanian sehingga peran Gubernur hanya menjadi mesin kalkulator menghitung pertumbuhan dan inflasi untuk dasar penetapan upah yang berlaku tahun depan. Ini jelas kemunduran upah sebab tahun depan inflasi maupun pertumbuhan bisa saja berubah," ujar Jazuli, koordinator Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Padahal UMP maupun UMK sejatinya hanyalah patokan upah terendah bagi pekerja lajang dan pekerja yang baru bekerja satu tahun. Meski faktanya UMP atau UMK ini yang dijadikan patokan bagi perusahaan untuk menggaji mayoritas buruhnya tanpa lagi mempedulikan masa kerja maupun statusnya.
Dengan kebijakan pengupahan yang masih tak ramah, maka bisa dipastikan penetapan UMP yang sebentar lagi juga akan disusul dengan penetapan UMK masih balum bisa menjawab solusi disparitas pengupahan di kabupaten/kota di Jawa Timur. (man)