Penentuan 1 Syawal, Dinamika Persaudaraan Umat
Ketika saya masih umur belia, satu atau dua hari menjelang Idul Fitri selalu diajak bapak berkunjung ke rumah KH Turaichan Adjhuri (almarhum) yang terletak di kota Kudus. Bapak saya, H Noer Said, menanyakan kapan 1 Syawal, karena Kiai Turaihan adalah ahli ilmu falak terkemuka dan selalu menjadi pedoman Almanak NU.
Jawaban Kiai Turaihan sungguh bijak. Beliau menjawab begini: "Kang Said, berdasarkan metode falak yang saya ikuti, 1 Syawal jatuh pada hari (X). Mungkin pemerintah berbeda sehari". Bapak saya menjawab: "Ya saya ikut perhitungan sampeyan, saya percaya keahlianmu."
"Baik kang kalau begitu. Tetapi dengan syarat jangan disebarluaskan kecuali ke saudara atau kenalan baik Kang Kaji Said. Sebabnya, menurut kesepakatan kiai-kiai NU tahun 1952 yang berhak mengumumkan ke khalayak umum hanya pemerintah, sedangkan saya hanya warga negara biasa".
Bapak pun mengiyakan tetapi dalam praktiknya. Masyarakat sekampung mengikuti bapak, karena mereka tahu hal itu merupakan hasil perhitungan falak KH Turaikhan yang mashur.
Ruang Toleransi
Para ulama umumnya menganggap bahwa perbedaan penentuan 1 Syawal atau 1 Ramadan termasuk اختلاف التنوع atau perbedaan keragaman yang berada dalam ruang toleransi. Dan bukan termasuk اختلاف التضاد atau perbedaan antagonis yang tidak bisa dikompromikan. Jadi beda merayakan Idul Fitri atau Idul Adha tidak perlu diperbincangkan apalagi memperuncing perbedaan tetapi sebaliknya perbedaan hendaknya dianggap sebagai rahmat (kebebasan berpendapat dalam suasana persaudaraan nasional).
Dalam hal ini terdapat perbedaan terdapat metode penentukan awal ramadhan dan awal Syawal sbb:
Pertama: metode Rukyah. Arab Saudi mengikuti metode ini dan menolak hisab. Pada 1984 atau tahun kedua saya tinggal Jeddah, terjadi kekeliruan penentuan rukyat awal puasa yg mengakibatkan waktu puasa hanya 28 hari. Pemerintah cq Darul Ifta’ mengakui khilaf dan membayar fidyah seluruh warga negaranya.
Kekhilafan itu itu bisa terjadi karena metode rukyah secara tradisional mengikuti laporan pandangan mata masyarakat baduy yg hanya menggunakan mata telanjang dan tidak terorganisir.
Kedua: Kombinasi Ru’yah dan Hisab sekaligus yang diikuti oleh pemerintah Indonesia / Malaysia termasuk NU.
Ketiga: Hanya cukup berdasarkan hisab saja karena yakin keakuratannya seperti K H Turaichan Kudus alm dan Muhamadiyah. Perbedaannya : K H Turaihan tidak mau mengumumkan sesuai keputusan ulama / PBNU. Sedangkan Muhamadiyah mengumumkan secara terbuka untuk anggautanya.
Akhirnya mari kita ber-Idul Fitri sesuai arahan institusi masing-masing karena keduanya berdasarkan argumentasi dan dalil kitab masing-masing. Alangkah indahnya mempraktikkan ajaran agama dengan menghargai perbedaan pendapat atas hal-hal yang menurut para ulama masih termasuk ruang .اختلاف التنوع.
Salamat Idul Fitri bagi yang merayakan besok. Sedangkan saya merayakan sesuai penetapan pemerintah. Umat Islam khususnya Muslim Indonesia terkenal sangat tinggi toleransi khususnya dalam beragama dan hendaknya menjadi teladan bagi seluruh warga negara. Mari kita laksanakan amaliah beragama dengan cerdas.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027. Tinggal di Jakarta.