Peneliti UB Sebut Data Kemiskinan Ekstrem di Jatim Belum Sinkron
Peneliti Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur menemukan adanya ketidaksinkronan pendataan warga miskin ekstrem di Jawa Timur (Jatim). Hal ini didasarkan hasil pengambilan sampel di kabupaten yaitu Bojonegoro, Lamongan, Probolinggo dan Bangkalan.
Peneliti UB itu adalah Lukman Hakim, Habibi Subandi, Abdul Wahid dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Indah Dwi Qurbani dari Fakultas Hukum (FH).
Ketua Tim, Lukman Hakim mengatakan, persoalan kemiskinan di Indonesia tidak hanya berbicara masalah pengangguran maupun lapangan pekerjaan. Namun, juga ketersediaan data yang valid terkait jumlah masyarakat yang miskin.
"Karena data kemiskinan itu harus diperbaharui tiap tahunnya. Contoh kasus, ada warga yang sudah meninggal tapi dia masih masuk dalam pendataan warga miskin," ujarnya, Kamis 30 Desember 2021.
Sehingga dalam penelitian ini pihaknya concern terkait konsolidasi data terkait jumlah warga miskin ekstrem yang dalam proses pendataannya terdapat perbedaan.
Habibie Subandi, salah satu anggota peneliti mengatakan, perbedaan terminologi pendataan kemiskinan tersebut seperti penentuan standard kemiskinan versi pemerintah berdasarkan SK bupati dan Badan Pusat Statistik (BPS).
"Standard orang miskin versi BPS menghitung berdasarkan rata-rata pengeluaran per bulan. Jika per bulan pengeluaran seseorang Rp400 ribu maka tergolong miskin ekstrem," katanya.
Sementara, berdasarkan penentuan standard kemiskinan versi pemerintah dari SK Bupati memakai ukuran Sustainable Development Goals (SDGs).
"Kemiskinan dinilai berdasarkan total pendapatan per hari. Jika dia memiliki pendapatan di bawah Rp27 ribu per hari, maka digolongkan miskin ekstrem," ujarnya.
Hal ini menyebabkan adanya perbedaan persepsi pada kepala desa terkait pendataan kemiskinan di wilayahnya masing-masing. Berdasarkan SK Bupati di empat kabupaten di Jawa Timur, terdapat perbedaan data kemiskinan dengan verifikasi data di lapangan yang dilakukan oleh peneliti.
"Data penduduk miskin ekstrem mengalami perubahan dari 22.642 (menurut SK bupati) menjadi 22.546 (versi verifikasi data di lapangan). Terdapat 1.792 warga miskin ekstrem baru dan 1.888 yang sudah terentaskan dari status warga miskin ekstrem hingga 2021," katanya.
Kata Habibie, untuk menetapkan standar kemiskinan ekstrem yang paling jitu adalah memakai penilaian dari pemerintah desa setempat.
"Karena pemerintah desa memiliki informasi tentang penduduk miskin di desanya terkait perubahan data penduduk yang disebabkan oleh kematian, migrasi, serta peningkatan ekonomi," ujarnya.
Selain itu untuk meminimalisir adanya unsur subjektivitas penentuan kemiskinan dari kepala desa maupun aparatur pemerintah desa perlu dilakukan pengawasan silang oleh pihak lain seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) atau pihak yang terlibat dalam Musrenbang Desa.