Penduduk Muslimnya Terbanyak, Industri Halal Indonesia Kok Kalah?
Indonesia disebut sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak dibandingkan negara lain di dunia. Namun, Indonesia tak bisa menjadi pemimpin dalam persaingan industri halal global.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (FISIP UINSA) pun menggelar webinar untuk memetakan peluang dan tantangan Indonesia dalam industri halal.
Dalam webinar virtual yang dibuka oleh Dekan FISIP UINSA, Profesor Akh. Muzakki, ia menyebutkan jika Indonesia justru kalah bersaing dengan negara berpenduduk non Muslim, dalam industri halal. “Bahkan Indonesia kalah dengan negara non-Muslim seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok yang telah lebih dulu mengembangkan industri halal,” katanya dalam siaran pers yang diterima Ngopibareng.id, Selasa 17 November 2020.
Menurut Dede Rifai, Diplomat Ahli Madya di Pusat Pengembangan dan Pengkajian Kebijakan Kawasan Asia, Pasifik and Afrika, BPPK Kementerian Luar Negeri, Indonesia perlu mengembangkan sistem ekonomi Islam dengan baik, jika ingin sukses memimpin industri halal. Selain itu, sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan akademisi, juga dibutuhkan untuk mengembangkan industri halal.
“Kita perlu bekerjasama karena begitu banyak tantangan yang harus dihadapi” tegas pejabat Kemlu yang sebelumnya menjadi diplomat di Kedutaan RI di Riyadh, Arab Saudi ini. Tantangan tersebut antara lain adalah kurangnya SDM yang berkompeten di bidang ekonomi Islam, lemahnya pemahaman masyarakat tentang produk halal, dan belum optimalnya upaya memajukan ekonomi Islam. Baginya, potensi ekonomi Indonesia dalam industri halal sebesar Rp3.000 triliun rupiah, tak mungkin tercapai bila tantangan tersebut tidak segera diselesaikan.
Sementara, dalam webinar yang sama, Rahmat Hidayat, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga GAPMMI, mengutarakan bahwa industri makan dan minum di Indonesia menyumbang hampir 40 persen ekonomi non-migas. Tetapi, kontribusi Indonesia di industry halal global masih terbatas.
Rahmat lantas mengkritik tentang belum adanya standarisasi label halal di antara negara-negara Muslim. “Kalau label halal saja tidak sama, maka akan sulit produk halal untuk diterima secara luas” jelas laki-laki yang juga menjabat sebagai Government & External Scientific Affairs Director PT Danone Indonesia ini. Ia bahkan membandingkannya dengan standarisasi ISO yang telah mapan dan diterapkan di banyak negara.
Mewakili pelaku industri, Rahmat juga menyampaikan terkait sertifikasi halal di Indonesia. Menurutnya, pelaku industridi Indonesia haruslah diberi pemahaman yang baik tentang sertifikasi halal. Selama ini banyak pihak menganggap bahwa sertifikasi halal sulit untuk dipenuhi.
Sedangkan, menurutnya, sulitnya pemenuhan itu karena banyak produk di Indonesia yang tidak memenuhi standar thoyyib alias baik, mulai dari pemilihan bahan, pengolahan bahan, pengemasan produk, hingga pemasaran. Sertifikasi halal adalah tingkatan yang lebih tinggi yang disematkan pada sebuah produk. Sehingga produk haruslah thoyyib terlebih dahulu sebelum halal.
Ia berharap bahwa pihak perguruan tinggi juga dapat mengawal dan mengawasi upaya pengembangan industrihalal di Indonesia. Akademisi yang dipercaya oleh masyarakat perlu membantu menyebarluaskan pengetahuan dan wawasan tentang industri dan sertifikasi halal di Indonesia.