Pendidikan Tinggi Tak Jamin Orang Tak Lakukan Kekerasan Seksual
Tak diluluskan saat sidang skripsi, diberi nilai jelek saat ujian, diancam dibunuh, hingga di drop-out dari kampus. Itu adalah segelitir ancaman klise yang sering diterima korban pelecehan dan kekerasan seksual di ranah perguruan tinggi. Khususnya bagi mereka yang berani melapor.
Tak berhenti sampai di situ, psikis penyintas dikoyak dengan kekhawatiran kala merasa insecure dan anxious akan penolakan sosial. Seperti dijauhi teman dan dikucilkan tetangga lantaran dianggap sebagai aib.
Ya, di negeri kita yang katanya menjunjung nilai Pancasila ini pada prakteknya masih sebatas iman di bibir. Kasus pelecehan seksual yang jelas melanggar sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) nyatanya tumbuh teramat subur.
Di sisi lain, meskipun Indonesia telah tujuh puluh tujuh tahun merdeka, namun pola pikir dan gaya hidup masyarakatnya masih teramat jauh dari kata freedom. Narrow mindset yang ditanamkan para kolonialis dengan mengkotakkan manusia berdasarkan gender serta prinsip perempuan adalah pihak subordinasi masih lestari.
Yang bikin ngenes, pelecehan seksual terjadi di lingkungan orang berpendidikan dan dianggap berbudi pekerti. Predikat dan gelar yang disandang para lulusan S2 hingga S3 kampus bergengsi, yang mulia “dosen” dan “petinggi kampus” kebanyakan disalahgunakan demi kepentingan pribadi.
Salah satunya kasus viral yang diperbincangkan netizen sepekan terakhir ini, yakni mencuatnya dugaan pelecehan seksual oleh seorang dosen pembimbing skripsi jurusan hukum kepada mahasiswinya. Mulai dari panggilan cantik hingga diminta mengangkat panggilan video call yang memperlihatkan sang dosen bertelanjang dada. Hal tersebut dibongkar oleh akun @dear_unesacatcallers tepat pada 6 Januari 2022 di Instagram.
Sejak diunggah postingan tersebut disukai lebih dari 1.348 orang. Kabar yang viral itu pun sampai di telinga Polrestabes Surabaya yang kemudian merespons dengan mengulurkan tangannya untuk mengusut kasus itu hingga tuntas.
Mengetahui hal itu, pihak universitas lalu gercep dengan mengklaim tim internal kampus telah membentuk satgas khusus. Adalah Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS Unesa). Tujuannya menginvestigasi dugaan kasus tersebut. Tak hanya itu, kampus pun akan bersuara keras dan lantang dalam membela dan mengadvokasi korban. Namun, bersamaan dengan itu sejumlah pertanyaan mengganjal terlintas di benak publik.
Yang pertama, “Seberapa efektif penanganan yang dibentuk oleh pihak intern kampus?”
Kedua, “Mengapa sampai sekarang belum ada respons dari pihak rektorat atas tawaran perlindungan dari Polrestabes Surabaya?”
Ketiga, “Mengapa satgas penanganan hanya dipunggawai warga atau civitas kampus saja?
Lalu, “Mengapa pihak kampus tak menjajal collab dengan pihak eksternal seperti LSM atau menyambut hangat tawaran dari Polrestabes Surabaya? Bukankah korban akan merasa lebih convenient, safe, and feel free to talk bercerita kepada pihak luar? Sebab, satgas berasal pihak kampus sendiri kemungkinan akan menimbulkan pemikiran percum tak bergun lantaran mereka bagian dari kampus itu sendiri. Jadinya kan blunder.
Padahal, selain di UNESA sebelumnya ada kasus serupa yang juga terjadi di kampus dan tak luput dari perhatian publik. Antara lain di UNUD, Bali dan UNRI Riau. To conclude, kasus pelecehan di kampus masih menjadi pr besar di dunia pendidikan. Para cendekiawan yang sepatutnya memberikan contoh nyatanya tercoreng atas oknum yang tak bertanggung jawab.
Advertisement