Pendidikan Penganiaya Disorot Netizen
Oleh: Djono W. Oesman
Pendidikan anak disoal di kasus Aditya Hasibuan menganiaya Ken Admiral. Netizen membagikan video (diduga) Aditya nyetir mobil di jalan raya, tertanggal 5 Agustus 2016 ketika Aditya masih SMP. Netizen heboh. Itu dianggap memanjakan anak.
------------
Video itu diunggah di Instagram waktu itu, milik akun @achiruddinhasibuan. Entah itu akun milik ayah Aditya, AKBP Achiruddin Hasibuan yang kini ditahan polisi (tepatnya di-patsus), atau bukan. Tapi caption di unggahan itu, begini:
"#abgmasukasrama.dedek&kakak.nyetirsendiri#TTDJ.yadek#," tulis akun @achiruddinhasibuan. Di video, tampak Aditya nyetir dan di sebelahnya ada gadis lebih tua, yang ditulis sebagai ‘kakak’.
Juga disebutkan, itulah tahun pertama Aditya pakai seragam putih-biru (seragam pelajar SMP).
Netizen menduga, itu akun ayah Aditya, yang semula menjabat Kabag Bin Ops Direktorat Narkoba, Polda Sumut.
Ada juga unggahan Aditya nyetir motor trail di jalan off road. Tampak di foto, Aditya masih lebih kecil dibanding saat nyetir mobil.
Mungkin, maksud netizen menyebarkan itu untuk menunjukkan, bahwa pendidikan di masa kecil Aditya seperti itu. Dimanjakan. Tepatnya, salah didik. Sehingga jangan kaget kalau Aditya menganiaya Ken Admiral.
Nyetir mobil milik sendiri, memang boleh. Tapi nyetir mobil di usia segitu membahayakan diri sendiri dan nyawa orang lain di jalan raya. Berdasar
Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan pengendara harus berusia minimal 17 tahun.
Undang-undang itu juga mengatur syarat untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) minimal 17 tahun. Berarti, saat video itu direkam, Aditya nyetir tanpa SIM. Meskipun bapaknya polisi.
Gegara heboh Aditya ini pula, netizen membagikan video bocah lain, juga sedang nyetir mobil di jalan raya. Dibagikan di akun Instagram @fakta.indo pada Rabu 24 April lalu. Tampak bocah perempuan usia pelajar SD (sekitar usia 10) nyetir mobil di jalan raya.
Video tersebut awalnya diunggah di Facebook @Iznainy Success, hingga menyebar ke media sosial lainnya seperti TikTok dan Instagram. Dan viral.
Di video, bocah perempuan itu menyetir dengan wajah tegang. Sementara, situasi jalan raya tampak di kaca sangat ramai. Ada suara perempuan memberi arahan kepada si bocah.
Arahannya begini: “Gas dikit. Klakson… klakson. Kanan dikit, kanan dikit… Nanti pelan-pelan menyesuaikan ya,’’
Setelah video itu heboh, baru diketahui itu terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Di akun milik Isnaini, instruktur mengemudi mobil di sana. Bocah sepuluh tahun itu ternyata anak Isnaini.
Isnaini kemarin minta maaf melalui video di akun Instagram Polresta Samarinda. Menggunakan akun Polresta Samarinda, sebab Isnaini ditegur oleh aparat di sana. Setelah videonya viral.
Dalam video tersebut, Isnaini mengakui dia mengajari anaknya nyetir. Video bocah nyetir tersebut dibuat setahun lalu. Namun baru viral, setelah viral video Aditya nyetir mobil.
Isnaini di akun Instagram Polresta Samarinda direkam video, mengatakan begini:
"Benar itu anak saya, bukan anak lain, bukan anak didik, tapi anak saya sendiri. Alasan di situ saya buat untuk memotivasi. Memang kita harus bisa karena memang tugas saya mengedukasi cuma dalam hal ini tidak tepat dengan objeknya saja. Saya mohon maaf kepada masyarakat Samarinda.”
Isnaini menyatakan, dia berjanji tidak akan mengulangi lagi mengizinkan anaknya (kini usia 11) nyetir mobil lagi.
Maksud Isnaini, dia tidak akan mengulangi lagi memamerkan anaknya nyetir mobil via medsos. Tapi, anak itu sudah terlanjur bisa nyetir mobil.
Dua contoh kejadian nyata di atas menunjukkan, bahwa pembuatnya seolah berkata: anak polisi, atau anak pelatih sekolah mengemudi, harus bisa nyetir mobil, meskipun masih kecil.
Para ortu pasti mencintai anak-anak mereka. Berusaha mendidik, menyiapkan anak-anak menuju dewasa. Diberi bekal apa pun agar anak-anak siap ketika sudah masuk usia dewasa.
Tapi, pendapat netizen bahwa pendidikan di dua kasus tersebut, dianggap memanjakan anak. Berakibat, anak kelak bakal bertindak di luar batas. Terbukti pada Aditya menganiaya Ken Admiral disaksikan ayahnya, AKBP Achiruddin.
Dr Ijeoma Opara, asisten profesor di Yale School of Public Health, AS, menulis di The Guardian, 20 Desember 2015 bertajuk: “Striking A Balance Between Pampering And Good Upbringing” menyatakan, dalam pendidikan anak, mengajarkan disiplin dengan memanjakan, beda tipis.
Batas antara pendidikan disiplin dengan memanjakan anak, tidak ada dalam teori. Tergantung pada kondisi dan situasi yang terjadi antara ortu dan anak. Jika ortu salah sedikit, maka bakal terjerumus dalam memanjakan anak.
Disebut terjerumus, sebab anak yang dimanja, setelah anak dewasa kelak bakal berperilaku semau dirinya. Sesuka hatinya. Tidak peduli orang lain. Kalau ia tidak suka, maka apa pun ia rasa boleh dilakukan.
Disebutkan, mayoritas orang tua ingin melakukan hal yang benar untuk anak-anak mereka. Ortu bercita-cita luhur untuk anak-anak mereka, dan berusaha untuk memberi mereka yang terbaik dalam hal pendidikan, kesejahteraan dan persiapan mental menuju kedewasaan.
Mayoritas ortu ingin menyelamatkan anak-anak mereka dari semua kesulitan yang harus mereka alami dalam hidup dewasa, kelak. Maka, ortu membekali anak-anak mereka dengan semua hal (yang menurut mereka) baik dalam hidup. Ortu ingin memastikan, anak-anak mereka tidak bakal kekurangan apa pun, kelak.
Namun, dalam prosesnya, ortu terkadang terlalu memanjakan anak. Dalam menyediakan kondisi yang 'luar biasa' ini untuk anak-anaknya, beberapa orang tua secara tidak sadar, melewati garis tipis antara merawat dengan memanjakan anak.
Jika ortu terjerumus memanjakan anak, ya itu tadi. Anak setelah dewasa bertindak semaunya sendiri.
“Itu menyebabkan kemerosotan nilai moral. Terlihat jelas saat ini (di Amerika Serikat) karena kaum muda sekarang tidak memiliki nilai etika dasar. Bahkan, cenderung melakukan tindak pidana.”
Dr Opara, pendidik di Amerika keturunan Afrika itu, menjelaskan detil tentang pendidikan yang memanjakan dengan pendidikan disiplin. Bedanya sangat tipis. Yang jika ortu tidak belajar pada ilmu yang benar, maka bisa terjerumus.
Sesungguhnya, tanpa arahan asisten profesor Amerika itu pun, secara tradisional masyarakat kita sudah paham tentang beda antara disiplin dengan memanjakan. Kultur pendidikan di Indonesia sudah baik. Soal beginian kita tidak perlu diajari orang Amerika.
Tapi, terbukti ada kasus Mario menganiaya David. Dilanjut, Aditya menganiaya Ken. Masyarakat bisa menyaksikan itu di video, betapa brutal mereka menganiaya. Seolah cuma mereka yang berhak mengendalikan orang lain.
Peringatan dari netizen soal perilaku Aditya nyetir mobil, juga perilaku Isnaini mengajari anaknya nyetir, jelas bahwa itu memanjakan anak. Biasanya, orang pandai mengawasi orang lain. Tapi sulit melakukan untuk diri sendiri. (*)
Advertisement