'Pendekatan Lunak' Tangani Terorisme, Cegah Stigma di Masyarakat
Pakar Hubungan Internasional Universitas Brawijaya, Malang, Yusli Effendi, resolusi Indonesia terkait penanganan terorisme di DK PBB sebagai suatu kebijakan yang realistis.
“Betul sekali harus seperti itu. Untuk kontra terorisme dengan hard approach itu 'kan kemudian tidak menyelesaikan banyak hal. Jadi, harus soft approach. Intinya pada kontra terorisme itu 'kan ada tiga. Preventif (pencegahan), rehabilitasi, dan reintegrasi,” ungkap Yusli Effendi, dalam keterangan Selasa, 28 Juli 2020.
Meski “pendekatan lunak” seperti yang diklaim Indonesia terkandung dalam resolusi, namun dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi eks kombatan harus melibatkan pendekatan-pendekatan multisektoral.
“Soft approach itu penting untuk langkah preventif mencegah bagaimana orang terpapar radikalisasi, sehingga itu pilihan bijak. Melibatkan pendekatan lunak untuk mencegah kombatan. Sementara, kombatan yang sudah terpapar ya kemudian harus di deradikalisasi dengan pendekatan-pendekatan tertentu dengan multisector,” tuturnya.
Yusli menekankan pemberian bekal keterampilan mengenai keterampilan kewirausahaan maupun pertanian, turut menjadi faktor penting dalam implementasi PRR tersebut.
“Makanya ketika para kombatan ini pulang harus ada deradikalisasi yang efektif dan adanya reintegrasi. Disengagement (melepaskan dari kelompok yang lama), salah satu yang efektif adalah memberikan pemasukan ekonomi. Sebelum keluar dari penjara bisa diberi bekal keterampilan wirausaha, bercocok tanam. Berjaga-jaga mereka tidak bisa bekerja di sektor formal,” ucap Yusli.
Pemberian bekal keterampilan dijelaskan Yusli, disebabkan seringkali para eks kombatan menjual seluruh aset yang dimiliki sebelum bergabung ke negara seperti Suriah.
“Seperti beberapa kombatan ataupun returnee yang pulang dari ISIS berangkat ke Suriah itukan sudah meninggalkan harta bendanya karena mau bergabung dengan negara islam. Rumahnya dijual, tanahnya dijual, paspor dibakar, kembali ke Indonesia kemudian dipenjarakan. Setelah keluar dari penjara dia tidak punya pemasukan ekonomi,” papar Yusli, , seperti disiarkan RRI.
Menurutnya, stigma masyarakat juga turut menjadi faktor sulitnya para eks kombatan memenuhi kebutuhan ekonomi di tanah air.
“Setelah keluar dari penjara dia mau kerja, stigma sudah melekat di dia “mantan teroris nih”. Cari kerja susah mau jualan juga susah. Akhirnya ditarik oleh kelompok yang lama. Akhirnya gak selesai, ini lingkaran setan,” sebut pakar ahli di bidang Timur Tengah ini.
Sementara, Indonesia memfokuskan terhadap tiga hal selama presidensi di DK PBB. Diantaranya, mempersatukan DK PBB dengan menjembatani ketertarikan dari "Kekuatan Besar" dan mengadopsi dialog untuk secara kolektif memitigasi bahwa COVID-19 menghadapi adanya tantangan perdamaian dan keamanan internasional.
Mendorong perdamaian yang berkelanjutan dalam kinerja pasca pandemi, dengan tidak hanya mempercepat berbagai usaha untuk perbaikan sektor ekonomi, tetapi juga untuk memastikan adanya sinergi antara perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.
Serta, mendorong upaya global untuk menangani berbagai kemunculan tantangan keamanan selama pandemi.
Seperti diketahui, untuk kali kedua Republik Indonesia akan menjalankan Presidensi di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), selama menjadi anggota tidak tetap periode 2019 – 2020.
Setelah menjabat Presidensi DK PBB Mei 2019, per 1 Agustus mendatang Indonesia akan memulai tugasnya itu untuk kedua kalinya selama sebulan penuh.
Terdapat outcome documents dua dokumen hasil yang ditargetkan Indonesia selama presidensinya, yaitu resolusi terkait penanggulangan terorisme dan partisipasi Pasukan Perempuan dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, menjelaskan terkait penanggulangan terorisme menitikberatkan pada penanganan terorisme yang melibatkan soft approach (pendekatan lunak) yaitu tahapan penuntutan, rehabilitasi dan integrasi (PRR).
“Terkait penanggulangan terorisme khususnya isu prosecution, rehabilitation and reintegration (PRR),” ujar Retno Marsudi, dalam keterangan Selasa, 28 Juli 2020.
Sebagaimana diungkapkan pada press briefing rutin sebelumnya, Retno menjelaskan, dengan adanya PRR Indonesia mendorong agar dalam penindakan terhadap teroris, tidak hanya difokuskan pada aspek penegakkan hukum.
“Kemudian, terkait dengan Indonesia bermaksud mendorong pendekatan yang komprehensif dalam penanganan terorisme. Sehingga, Dewan Keamanan PBB tidak hanya fokus aspek penegakan hukum saja, tetapi juga upaya rehabilitasi dan reintegrasi pelaku terorisme ke masyarakat,” terang Retno Marsudi.
Advertisement