Pendekar Muktamar
Setelah setengah hari menemui peserta muktamar secara bergelombang, KH Yahya Cholil Staquf menyempatkan diri istirahat sejenak. Di kamar 1517 Hotel Novotel Bandar Lampung.
Ia hanya ditemani salah satu putranya, AS Laksana, Habib Hilal Al Aidit, dan seorang yang berperan seperti ajudannya. Ada juga sejumlah orang dekatnya di kamar sebelah.
Ia sebetulnya ingin tidur sejenak. Tapi dilarang Habib Hilal. Padahal, sudah sejak muktamar ia sudah jarang bisa memejamkan mata. Habib Hilal melarang tidur karena malam itu adalah penentuan: pemilihan Ketum PBNU.
Saya bergabung ke kamar itu beberapa jam setelahnya. Hanya sekadar ingin menemani kawan yang sedang menghadapi detik-detik pertarungan. Memperebutkan kepemimpinan NU.
Beberapa saat kemudian bergabung juga Saifullah Yusuf alias Gus Ipul. Mantan Ketua Umum GP Ansor yang kini Walikota Pasuruan. Ia yang selama ini menjadi panglima lapangan kubu regenerasi.
Gus Yahya --demikian ia biasa dipanggil-- menyebut Gus Ipul sebagai pendekar muktamar. Sebutan itu disampaikan dalam pidatonya setelah terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, 24 Desember 2024.
Laporan dari arena muktamar terus mengalir. Melalui ajudannya, Habib Hilal, maupun langsung melalui gawainya. Bersarung dan kaos oblong, ia memberikan beberapa instruksi ke mereka yang di lapangan. .
Saat itu, agenda Muktamar sedang memasuki masa genting. Pemilihan Rais Aam PBNU. Yang dipilih melalui Ahlul Hali wa al-Aqdi (AHWA), semacam tim yang terdiri dari 9 kiai sepuh hasil pilihan peserta muktamar.
Gus Yahya sendiri tampak sumeleh dengan keyakinan yang tinggi. Seakan ia sudah tahu bahwa segalanya telah berjalan sesuai dengan skenarionya. Juga sangat yakin segera memimpin NU.
“Nggak usah dipikir, semuanya sudah berjalan sesuai dengan yang kita harapkan,” katanya saat saya menyampaikan pesan dari seseorang di Jakarta.
Justru Gus Ipul yang tampak tegang. Meski seluruh nama kiai yang lolos menjadi AHWA sudah sesuai skenarionya, namun belum aman karena Rais Aam belum ditetapkan para kiai itu.
Apalagi, salah seorang anggota AHWA terpilih KH Zaenal Abidin dari Palu tidak bisa masuk arena Muktamar di kampus Unila. Baru berhasil masuk setelah Paspampres turun tangan.
Rapat AHWA yang didalamnya ada Wapres Makruf Amien itu pun akhirnya berjalan. Seperti skenario kubu Regenerasi --demikian pendukung Gus Yahya menyebut-- KH Miftahul Ahyar dipilih menjadi Rais Aam.
Lega.
Tepat pukul 23.00 WIB, keponakan KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) berangkat ke arena muktamar. Untuk mengikuti agenda penetapan Rais Aam dan pemilihan Ketua Umum. Gus Ipul tetap tinggal di hotel.
Sebelum berangkat itu, Gus Ipul sempat menyampaikan ada yang ingin menemuinya. Yang menawarkan kemungkinan Kiai Said untuk mengundurkan diri dari pencalonan. Untuk memuluskan pencalonan Gus Yahya.
Ketika usul ini disampaikan, Gus Yahya bergeming. Ia tetap ingin ada persaingan dalam Muktamar. Ia minta Gus Ipul tak usah meladeni upaya menghambat pencalonan Kiai Said. “Ndak usah Pul. Biar berjalan apa adanya,” katanya tegas.
Meski hingga pagi hari, akhirnya pemilihan Ketua Umum PBNU tetap berlangsung. Dua tahap. Tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Semua sudah tahu, walau selisih lebih 100 suara di tahap pencalonan, Kiai Said tetap bersedia pemilihan terus.
Ternyata, di ajang pemilihan itulah, dua pemimpin NU tersebut memberi pelajaran demokrasi kepada bangsa ini. Bahwa persaingan tidak harus saling menjatuhkan. Bahwa persaingan merupakan hal biasa. Bukan tabu.
Yahya yang lebih muda tetap cium tangan Kiai Said jelang pemilihan. Karena ia dianggap sebagai gurunya. Ini adab NU. Ini akhlak pesantren. Mereka juga saling memuji ketika Gus Yahya resmi terpilih. Tidak ada dendam dan saling menjatuhkan.
Pelajaran berdemokrasi yang luar biasa. Yang belum terwujud di partai politik kita. Lembaga yang memang didirikan sebagai pilar demokrasi. Malah sebaliknya, mereka sering ricuh ketika suksesi kepemimpinan. Sehingga tak ada regenerasi.
NU lain lagi. Hampir setiap Muktamar selalu berlangsung dinamis. Bahkan, banyak yang cemas. Namun selalu saja, konflik alias gegeran dalam NU selalu berakhir dengan gelak tawa alias ger-geran. Tak sampai muncul NU tandingan.
Sebut saja Muktamar Situbondo, 1984. Saat tampilnya generasi baru jaman itu. Yang dikomandani KH Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Bersaing dengan kelompok politik yang dipandegani KH Idham Chalid.
Muktamar NU di Jogjakarta, 1989, juga demikian. Diwarnai dengan mufaraqahnya --keluar dari barisan-- KH As’ad Syamsul Arifin. Tokoh sepuh NU yang sangat dihormati. Yang terjadi, Gus Dur malah terpilih menjadi Ketum PBNU secara aklamasi.
Muktamar yang haru biru adalah Muktamar Cipasung, 1994. Ini gara-gara Presiden Soeharto intervensi untuk menyingkirkan Gus Dur. Tak berhasil. Boneka Soeharto, Abu Hasan, berusaha membuat PBNU Tandingan. Tapi tak laku.
NU merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia --bahkan di dunia-- pasti banyak pihak yang berkepentingan. Banyak pihak yang ingin menjadikan NU sebagai aset politik. Dengan segala cara. Semua itu yang menentukan skala dinamika di setiap muktamar.
Muktamar Lampung juga tidak steril dengan itu. Terbukti, ada mobilisasi karangan bunga mengucapkan selamat kemenangan salah satu kandidat sebelum pemilihan berlangsung. Sambil menyebar informasi bahwa salah satu kandidat akan menang tipis.
Tapi NU adalah NU. Ia tidak gampang menjadi alat orang maupun kelompok lain. NU akan tetap menjadi organisasi yang selalu menjadi penengah dan menjaga umatnya dalam beragama dengan ramah. Juga selalu menjadi penjaga NKRI.
Dengan gayanya yang lentur, dengan nuansanya yang terbuka dan demokratis, dengan kecerdasan kulturalnya, membuat ormas ini tetap besar di usianya yang seabad. Bahkan bisa menjadi lebih besar lagi.
Di tengah suasana persaingan antar kandidat, masih saja anekdot dan joke muncul di arena muktamar. Selain sandal tertukar, ada cerita juga tentang ketegasan Banser saat pembukaan Muktamar di Ponpes Darus Saadah, Lampung Tengah.
Karena dibuka Presiden Joko Widodo, pengamanan pun sangat ketat. Tidak ada tamu yang bisa masuk kecuali yang sudah terdaftar secara online. Kartu pengenal peserta muktamar pun pakai barcode. Demikian kartu pers.
Salah satu undangan yang buru-buru masuk tempat pembukaan, dicegat Banser. “Bapak dari mana? Silakan regenerasi dulu di meja sana,” katanya dengan tegas.
“Regenerasi?,” batin undangan VIP dari Jakarta ini.
Melihat orang di depannya bingung, Banser itu menjelaskan: “Itu lho, yang onlen-onlen.”
“Ooo...maksudnya registrasi,” sahutnya sambil tersenyum.
Rupanya jargon regenerasi oleh Gus Yahya begitu melekat di kepala Banser. Sehingga registrasi pun berganti menjadi regenerasi.
Yang pasti, muktamar yang menghasilkan kepemimpinan baru di NU ini juga melahirkan pendekar muktamar. Siapa dia? Mantan Ketum GP Ansor Saifullah Yusuf.
Dialah andalan Gus Yahya untuk memenangkan pertarungan. Apalagi berduet dengan Nusron Wahid, penerus Gus Ipul sebagai Ketum Ketum GP Ansor.
Advertisement