Pendapatan Garuda Indonesia Turun 90 Persen
Pendapatan Garuda Indonesia anjlok hingga 90 persen akibat pandemi COVID-19. Sementara itu 70 persen pesawat dikandangkan karena sejumlah rute tidak beroperasi.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, mayoritas penerbangan Garuda sekarang ini load factor atau tingkat keterisian di bawah 50 persen. "Jadi ini imbasnya sangat berat bagi Garuda dan maskapai lain,” kata Irfan di Jakarta, Selasa.
Ditambahkan, penerbangan merupakan industri yang sangat terdampak dengan adanya pandemi ini karena mobilitas harus dibatasi, sementara mobilitas merupakan fundamental di industri penerbangan.
"Dampaknya juga bukan hanya berhenti di maskapai, melainkan pula di bandara, perhotelan dan restoran ketika penerbangan terganggu. “Yang lebih berat lagi, maskapai pada dasarnya industri yg sangat capital intensive atau padat modal dan marginnya di bawah double digit. Begitu ada goyangan seperti ini akan sangat goyang sekali. Tadi ada grafik yang menyatakan saat awal Maret menukik drastis mulai dari penumpang dan pendapatan,” katanya.
Namun, lanjut dia, sebagai maskapai nasional flag carrier, Garuda tetap memiliki kewajiban untuk menjaga konektivitas, karena itu pihaknya masih mengoperasikan rute-rute internasional, seperti dari Belanda, Australia, Jepang, Hong Kong, dan Korea Selatan serta rute-rute domestik.
“Untuk Garuda, ini situasi unik yang harus dihadapi karena ini bukan semata-mata maskapai yang lain mudah ‘ah saya tutup dulu nunggu nanti kalau sudah baik’. Kami ini ‘national flight carrier’, mandat kami adalah memastikan konektivitas dan menyambungkan antarbangsa,” katanya.
Untuk itu, Irfan menjelaskan, secara perlahan pihaknya menurunkan frekuensi penerbangan di sejumlah rute.
“Secara dinamis kita liat tingkat keterisiannya dan kemudian pelan-pelan kita turunkan frekuensi penerbangannya. Seperti sebelumnya enam kali seminggu ke Amsterdam saat ini hanyas sekali seminggu. Tapi untuk memastikan konektivitas ini terjadi kita harus memastikan bahwa pergerakan orang yang harus bergerak terjadi. Karena kalau tidak kita bayangkan situasi saat 60-an yang memaksa kita berpikir waktu lama untuk berpindah,” katanya. (ant)
Advertisement