Pencalonan Anies dan Momen “Pertobatan” Politik Jusuf Kalla
DALAM dua hari terakhir media diramaikan soal peran Wapres Jusuf Kalla (JK) dalam proses masuknya nama Anies Baswedan sebagai cagub PKS-Gerindra. Bahasa yang dipakai media adalah “intervensi” JK kepada Ketua Umum Gerindra Prabowo menjadi penyebab munculnya nama Anies pada menit-menit terakhir batas waktu pendaftaran.
Soal ini mencuat ke permukaan karena adanya statemen dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hassan “membocorkannya” ketika menjadi keynote speech seminar nasional kebangsaan Gerakan Muballigh dan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Soal peran JK ini sebenarnya juga sudah muncul dalam tulisan sebelumnya (26/4). Tapi rupanya publik belum terlalu ngeh. https://www.ngopibareng.id/news/adu-nyali-jusuf-kalla-abu-rizal-bakrie-dan-jokowi-810513.
Bahasa “intervensi” rupanya datang dari Zulkifli yang menceritakan detik-detik bagaimana munculnya nama Anies Baswedan. Zulkifli mengaku mendengar langsung ketika Prabowo menerima telepon dari JK. Jadi infonya dia jamin valid.
Pengakuan Zulkifli ini kemudian menjadi ramai. Apalagi muncul kesan ada yang ingin jadi “pahlawan” dalam kemenangan pasangan Anies-Sandi. Posisi Zulkifli dan PAN dalam partai pendukung Anies-Sandi bisa disebut sebagai outsider sekaligus insider.
Outsider karena pada putaran pertama PAN mendukung pasangan Agus-Silvy bersama Demokrat, PKB, dan PPP kubu Romahurmuzy. Insider karena pada putaran kedua memutuskan untuk mendukung pencalonan Anies-Sandi. Namun benar bahwa pada awal penjajakan koalisi PAN termasuk yang diajak bicara oleh Gerindra-PKS.
Mengapa munculnya “bocoran” dari Zulkifli Hassan ini menjadi ramai. Setidaknya kita bisa melihatnya dari tiga sudut. Pertama, pentingnya menjaga perasaan semua pendukung Anies-Sandi. Kedua, makin terbukanya konflik politik JK-Jokowi. Ketiga, indikasi adanya “pertobatan” politik JK.
Menjaga perasaan pendukung
Bila melihat gaya Zulkifli Hasan yang cenderung “polos” tampaknya tidak ada sedikitpun maksudnya untuk mengklaim punya peran dalam kemenangan Anies-Sandi. Tentu tidak ada maksud pula untuk menonjol-nonjolkan peran JK.
Dia hanya sedikit keceplosan karena sangat gembira dengan kemenangan itu. Apalagi yang diajak bicara adalah kalangan “orang dalam” yakni para mubaligh yang juga punya peran besar mendukung kemenangan Anies-Sandi.
Mengapa hal itu kemudian menjadi masalah? Selain menimbulkan ketidaknyaman, klaim itu juga bisa mengaburkan fakta di lapangan. Sebab bila melihat perolehan suara Anies-Sandi yang mencapai 57.96 persen jauh melampaui perolehan suara partai pendukung PKS-Gerindra plus PAN.
Angka itu juga melebihi total semua suara partai-partai Islam di DKI bila digabungkan menjadi satu. Kalau mau diperjelas lagi perolehan suara itu juga dipastikan datangnya bukan hanya dari pemilih muslim. Karena perolehan suara Ahok terbesar juga disumbang oleh pemilih muslim.
Mari kita mulai berhitung. Pada Pileg 2014 Gerindra memperoleh suara 14.15 persen, PKS 10.38 persen. Jadi total hanya 24.53 persen. Berapa total pemilih partai Islam? PKB 5.66 persen, PPP 9.43 persen dan PAN 1.89 persen. Jika ditambah dengan PKS maka total perolehan suara sebanyak 27.36 persen. Total suara pemilih Islam idiologis sangat jauh dibandingkan dengan hasil perolehan suara Anies-Sandi.
Dengan perolehan suara sebanyak 57.96 persen, maka dipastikan pemilih Anies-Sandi datangnya dari berbagai kalangan. Mulai dari yang Islam idiologis dan terafiliasi dengan parpol, pemilih yang tidak idiologis tersebar di Golkar, Demokrat, Gerindra, Nasdem bahkan PDIP, Islam abangan dan juga nonmuslim.
Lho bukannya kemenangan Anies-Sandi sebagai tanda kemenangan kelompok radikal? Ayo dong bicara dengan data. Jangan hanya bikin labeling dan framing media. Bahwa komunitas Islam seperti Majelis Pelayan Jakarta (MPJ) dan Gubernur Muslim Jakarta (GMJ) menjadi embrio perlawanan terhadap Ahok, itu fakta yang tidak bisa dibantah. Mereka menginventarisir sejumlah nama yang dianggap layak menjadi gubernur.
Jangan lupa pula untuk mencatat “kenekatan” Adhyaksa Dault mendeklarasikan diri sebagai calon gubernur Muslim. Hari gini mau jadi gubernur menantang Ahok yang sangat populer dengan eletabilitas yang tinggi?
Peran umat Islam menjadi semakin menonjol dan sangat besar ketika kemudian lahir Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI. Gerakan ini dipicu dari statemen penistaan agama oleh Ahok ketika dia mengutip Surat Al Maidah 51.
Jadi clear sudah siapa yang paling berjasa bagi kemenangan Anies-Sandi. Ini merupakan kemenangan warga Jakarta dari berbagai elemen. Ibarat sebuah bangunan ada yang mulai dari awal menimbun lubang ketidakyakinan bisa mengalah Ahok, menggali pondasi, menyumbang bata, semen, pasir, genting, konsumsi untuk para tukang dan bahkan ada yang hanya tukang memberi semangat. Semuanya punya andil.
Konflik politik Jokowi-JK
Terungkapnya peran JK ini juga memberi konfirmasi adanya konflik politik antara Jokowi-JK. Sudah sejak lama rumor bahwa Jokowi-JK terlibat konflik. Banyak yang menyebutkan JK sudah dipinggirkan Jokowi. Dalam mengambil berbagai keputusan Jokowi lebih mempercayai Luhut Binsar Panjaitan, rekan bisnis lamanya sejak masih di Solo.
Spekulasi soal itu makin mendapat pembenaran karena performance politik JK tidak seperti pada masa dia menjadi Wakil SBY, powerful. Saat itu bahkan JK sering dicitrakan jauh lebih mencorong dibandingkan SBY.
Kecepatannya dalam mengambil keputusan sangat berbanding terbalik dibandingkan dengan SBY yang sering disebut peragu. Soal ini kemudian diusung oleh JK sebagai tagline-nya ketika maju dalam bursa Pilpres 2009 “lebih cepat, lebih baik.”
Namun belakangan ini performace politik JK tampaknya sudah kembali. Dia beberapa kali diketahui berbeda pendapat dengan Jokowi, terutama pada penyikapan pemerintah terhadap penistaan agama oleh Ahok dan beberapa Aksi Bela Islam (ABI).
Dengan meng-endorse pencalonan Anies, JK makin memperteguh posisinya di kubu yang berbeda dengan Jokowi yang sangat mendukung, membela dan melindungi Ahok. Ketika sejumlah tokoh Islam dinyatakan makar, JK juga tak segan menunjukkan ketidaksetujuannya.
Pertobatan politik JK
Bagi kalangan Islam, dukungan JK terhadap Anies bisa dilihat sebagai langkah “pertobatan” politik JK. Langkah JK bersedia menjadi wakil Jokowi pada Pilpres 2014 sangat menyakitkan bagi kalangan muslim ideologis.
Publik pasti tidak akan pernah lupa pernyataan JK bila Jokowi dicalonkan sebagai presiden, maka Indonesia akan hancur. Alasannya JK sebenarnya sangat masuk akal. Sebab Jokowi baru saja menjadi Gubernur DKI, kinerjanya belum terbukti. Di level nasional dia juga masuk kelompok new kid on the block. Sangat hijau, mentah dan tidak punya pengalaman nasional, apalagi internasional.
Keberhasilannya menjadi Walikota Solo selama satu setengah periode, tentu tidak bisa jadi modal yang kuat untuk menjadi Presiden Indonesia. Menjadi Presiden Indonesia sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk ke-4 terbesar di dunia ini harus dengan bekal yang kuat dan komplit.
Jadi sekali lagi kekhawatiran JK sangat masuk akal, sangat bisa dipahami. Yang tidak masuk akal dan tidak bisa dipahami ketika JK kemudian bersedia menjadi wakilnya Jokowi.
Kesediaan JK menjadi wakil Jokowi ini kemudian memecah aspirasi pemilih Islam. Sebagai tokoh, JK membawa banyak gerbong. Mulai dari pemilih NU, kalangan Korps Alumni HMI (KAHMI), alumni Pelajar Islam Indonesia (PII), dan beberapa jabatan lain di berbagai organisasi ke-Islaman.
JK menjadi vote getter di kalangan umat Islam yang sangat efektif dan signifikan bagi Jokowi. Di KAHMI terjadi perpecahan antara pendukung JK dan Prabowo. Di beberapa wilayah dukungan KAHMI terpolarisasi.
Di kalangan alumni PII perpecahannya malah lebih keras lagi, karena Ketua Umum Keluarga Besar Alumni (KB) PII Sutrisno Bachir (SB) memutuskan mendukung Jokowi-JK. Alasan SB karena JK adalah kader PII dan saat itu menjadi Ketua Dewan Pertimbangan KB PII.
Beberapa pentolan alumni PII seperti Dahlan Iskan, Sofyan Djalil, Muchdi Pr dan sejumlah tokoh lain mengikuti SB mendukung Jokowi-JK. Sementara beberapa alumni PII seperti Fuad Bawazier, Kivlan Zein dan Cholil Ridwan berada di kubu penentang Jokowi-JK.
Kembalinya JK “ke jalan yang benar” pasti sangat disambut dengan baik oleh kalangan muslim. Dukungan kepada Anies bisa dilihat sebagai bentuk “pertobatan politik” JK setelah mendukung bahkan bersedia menjadi wakil Jokowi.
Bagi banyak kalangan terutama penentangnya, “nujum” JK bahwa Indonesia akan hancur bila Jokowi menjadi presiden, seperti mendapat pembenaran. Gonjang-ganjing politik di Indonesia belakangan ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan Jokowi.
Mari kita tunggu apakah ijtihad politik JK kali ini lebih benar. Dalam agama diajarkan, bila kita benar melakukan ijtihad atau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, maka kita kita akan mendapat dua pahala, atau imbalan atas amal baik kita. Sementara bila salah, tetap mendapat satu pahala.
Menarik khan?
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik.
Advertisement