Penampilan Emil Dardak Terkesan sebagai 'Lelaki Penindas Perempuan'
Debat pasangan calon Gubernur Jawa Timur yang digelar semalam oleh Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur, menyisakan beragam komentar berbagai kalangan terutama soal penampilan masing-masing pasangan. Salah satunya komentar datang dari pengajar ilmu politik Universitas Airlangga Surabaya, Haryadi.
Haryadi menyoroti penampilan dari calon wakil gubernur Jawa Timur Emil Dardak yang dianggap sebagai "lelaki penindas perempuan". Kata dia, hal itu tampak nyata saat memotong pembicaraan dan tak memberi kesempatan Mbak Puti menjelaskan tentang stunting.
"Emil Dardak terkesan bukan sekadar penindas, tapi menghina harkat perempuan. Karena, betapa pun Mbak Puti adalah perempuan yang dengan kepekaannya terhadap fenomena stunting di Kabupaten trenggalek sepatutnya didengar.
Menurut Haryadi, stunting bukan soal berapa jumlah penderitanya, tapi ini soal kemanusiaan. Dia menambahkan, ketika seorang perempuan yang punya kepedulian soal kemanusiaan dalam kasus stunting, dipotong dan tak diberi kesempatan mengungkap masih adanya stunting di Kabupaten Trenggalek maka sungguh Emil Dardak telah melakukan "penindasan terhadap perempuan".
Pengamatan yang sama juga muncul Novri Susan, pengamat politik Universitas Airlangga. Dia mengatakan, dari penampilan di debat terlihat jelas bagaimana posisi yang diambil dari masing-masing calon. Kandidat nomor urut satu, Khofifah-Emil, terlihat mengambil posisi agresif. Adapun Gus Ipul-Puti terlihat lebih tenang, santai dan tegar dalam mengurai problem sekaligus solusi bagi masyarakat.
”Terutama pada segmen debat cawagub, terlihat Emil sangat agresif, bahkan beberapa sesi sempat emosional saat Puti bertanya soal kondisi anak gagal tumbuh atau stunting di Kabupaten Trenggalek, dimana Emil menjadi Bupati,” ujarnya.
Menurut batas toleransi Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka anak gagal tumbuh atau stunting ditoleransi 20 persen dari jumlah balita. Sementara, di Trenggalek, angkanya mencapai 25 persen. Di atas batas toleransi WHO.
Novri mencatat, Emil setidaknya juga beberapa kali menyerang Puti Soekarno secara personal dengan mengatakan, bahwa Puti tidak paham dengan masalah gizi dan kesehatan anak.
Novri menganalisis, pilihan Emil yang agresif menyerang lawan dalam kacamata sosiologi politik bisa malah membuat publik Jatim tidak simpati. Ini karena publik Jatim dikenal sebagai publik santun yang menginginkan pemimpin rendah hati dengan karya yang nyata.
”Nah kredibilitas komunikator politik, dalam hal ini kandidat, akan sangat berpengaruh dalam upaya mendapatkan dukungan khalayak. Sikap yang agresif, merendahkan orang lain, tentu menghasilkan dampak defisit bagi kandidat bersangkutan,” ujarnya. (amr)