Pena Merah Megawati
Akhirnya sikap politik itu keluar juga. Lewat sebuah artikel di Harian Kompas. Baik yang terbit secara cetak maupun edisi digital.
Judulnya Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Tapi bukan judulnya yang menarik. Melainkan penulisnya: Megawati Sukarnoputri.
Semua orang tahu, ia adalah Ketua Umum PDI Perjuangan. Putri Presiden RI pertama Bung Karno yang juga Presiden RI Kelima.
Sejak Pemilu Presiden dan Legislatif, 14 Februari 2024, publik menunggu suaranya. Bahkan mungkin jauh sebelumnya. Sejak, presiden Joko Widodo yang selama ini diusung terang-terangan berbeda pilihan politik dengannya.
Megawati dengan PDI Perjuangannya mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfudz MD. Presiden Joko Widodo secara terbuka mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Sepertinya itulah puncak ketegangan antara Megawati dengan Presiden Jokowi yang selama ini dianggap sebagai kadernya sendiri. Bersama dengan dua putranya yang menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan. Kedua putra presiden ini diketahui menjadi walikota karena dukungan PDI Perjuangan.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu kini masih dalam sengketa di Mahkamah Konstitusi. Tentu bukan soal perolehan suaranya. Tapi soal prosesnya. Yang oleh pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar-Mahfud dianggap bermasalah.
Tulisan Megawati berisi tentang harapan terhadap para hakim Mahkamah Konstitusi yang kini sedang menyidangkan perkara gugatan tentang Pilpres. Berharap mereka menjadi dewa penegak etika dan martabat bangsa. Dengan mengambil keputusan berdasarkan hati nurani.
Putri Bung Karno yang pernah menjadi target ‘’pembunuhan’’ politik di Zaman Orde Baru ini memulai tulisannya dengan sebuah ilustrasi tentang patung Dewi Keadilan. Yang diletakkan di meja kerja rumah kediamannya. Patung itu dibelinya saat di Amerika Serikat.
Ia membayangkan hadirnya keadilan hakiki di Mahkamah Konstitusi. Mata patung Dewi Keadilan tertutup kain. Bagi Megawati, ini mengandung pesan bahwa mata tertutup menghadirkan ‘’keadaan gelap’’ agar tak silau apa yang dilihat mata. Dengan mata tertutup, akan terjadi dialog dengan hati nurani dalam setiap memutuskan perkara.
Patung Dewi Keadilan juga digambarkan dengan timbangan keadilan sebagai cermin keadilan substantif. Kemudian pedang yang diturunkan ke bawah menggambarkan bahwa hukum bukan untuk alat membunuh. Tapi berdasar norma, etika, kesadaran hukum dan tertib hukum, serta keteladanan aparat penegak hukum.
Rupanya ia menghayati perjalanan pilpres kali ini bukan semata soal kontestasi politik. Bukan sekadar pesta demokrasi lima tahunan. Tapi juga sebagai persoalan keadilan, masalah etika, dan pelembagaan supremasi hukum di atas segalanya.
Ia bahkan membandingkan derajat sumpah presiden dan hakim Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, sumpah dan tanggung jawab hakim Mahkamah Konstitusi lebih mendalam dibandingkan dengan sumpah presiden.
Dalam tulisan yang panjang itu, Megawati sempat menyitir kesaksian budayawan dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno. Yang menilai ada unsur-unsur pelanggaran etika dalam Pilpres 2024.
Karena itu, Megawati berharap hakim Mahkamah Konstitusi juga menjadikan etika sebagai landasan dalam mengurai seluruh akar persoalan pilpres. Yang menurut Megawati jelas berangkat dari nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden.
Baginya, proses pemilu yang berakar dari persoalan itu menjadikan demokrasi kita merosot kualitasnya. Karena itu, ia berharap hakim Mahkamah Konstitusi mampu menyelesaikan sengketa pemilu kali ini sebagai tolok ukur peningkatan kualitas demokrasi.
Yang menarik adalah penilaian Megawati terhadap penggunaan aparatur negara, polisi dan tentara dalam pilpres. Dia mencatat penggunaan aparat negara sebagai alat elektoral sudah terjadi sejak Pemilu 1971. Kecenderungan yang sama terjadi pada Pemilu 1999, 2004, dan semakin menguat pada Pemilu 2024.
Demikian juga politik bantuan sosial yang merebak bersamaan dengan menguatnya populisme di tahun 2009. Karena itu, ia menyebut telah terjadi evolusi kecurangan pemilu dari waktu ke waktu. Bahkan, ia menyebut Pilpres 2024 sebagai puncak evolusi kecurangan yang masuk kategori terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Dia menyinggung bahwa hasil pemilu bisa berubah akibat penyalahgunaan kekuasaan. Dia melihat perilaku memilih telah dipengaruhi besarnya belanja sosial seperti bantuan langsung tunai, pembagian beras miskin, dan bantuan sosial lainnya.
Di akhir tulisannya, Megawati mengungkapkan hasil kontemplasi berdasarkan pengalaman hidupnya selama ini. Dia menyimpulkan, bahwa kebenaran tetaplah kebenaran. Kebenaran tak bisa dimanipulasi karena ia menjadi hakikat.
Kedua, kebenaran dalam pengambilan keputusan muncul dari pikiran dan nurani yang jernih. Ketiga, qanaah atau merasa cukup terhadap apa yang ada. Ia mencontohkan ketika konstitusi membatasi masa jabatan presiden dua periode, maka itulah kebenaran yang harus ditaati.
Terakhir, ia mengutip bahasa Rusia ‘’Utrenja’’ yang berarti fajar. Bagi Megawati, tidak akan ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur. Ia berharap keempat pedoman hasil kontemplasinya ini juga menjadi pedoman hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara.
‘’Ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat Indonesia,’’ tulis Megawati.
Seperti beredar di berbagai laman medsos, banyak orang menunggu kemarahan hebat dari Megawati terhadap apa yang terjadi dalam proses Pemilu 2024 ini. Sebab, ia dan partainya termasuk yang paling dirugikan. Calon presidennya kalah dan perolehan suara partainya merosot.
Tapi ternyata, ia memilih menuliskan sikapnya dalam bentuk opini yang dimuat salah satu media ibukota. Bukan memprovokasi pengikutnya melalui pernyataan-pernyataan keras seperti umumnya dilakukan banyak politisi selama ini.
Tapi ketika saya berusaha mengkonfirmasi tulisan Megawati ini ke Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, ia memforward kopi halaman terakhir tulisan tangan dengan pena berwarna merah. Ternyata itu adalah lembar terakhir tulisan tangan Megawati yang kemudian dimuat di Harian Kompas, Minggu 8 April 2024 ini.
Adakah tulisan tangan dengan menggunakan tinta merah Megawati itu menunjukkan kemarahan yang hebat? Kepada siapa ia harus marah? Kepada pemimpin negara atau ke hakim Mahkamah Konstitusi? Wallahu a’lam bissawab.