Pemprov Jatim Vs Pemkot Surabaya: Pasien Covid-19 'Terlantar'
Adu argumen antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya soal penanganan klaster baru corona di pabrik rokok H.M Sampoerna sudah mereda.
Namun, 'perang dingin' yang dipicu miskomunikasi antara Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim dalam percepatan penanganan Covid-19, nampaknya berlanjut ke jilid II.
Masalah bermula dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya milik Pemprov Jatim kelabakan karena kedatangan puluhan pasien Covid-19 dari Kota Surabaya, pada Sabtu 16 Mei 2020.
Tanpa komunikasi terlebih dulu, pasien pun ditaruh di IGD RSUD Soetomo. Ada sekitar 35 pasien Covid-19 rujukan dari Pemkot Surabaya yang belum kebagian kamar.
Karena seluruh kamar untuk pasien Covid-19 penuh, pihak RSUD Dr. Soetomo terpaksa memindahkan pasien sakit akut ke ruang lain supaya bisa digunakan untuk pasien Covid-19 yang tak kebagian kamar. Dikhawatirkan pasien ini bisa menularkan virus ke pasien lain.
“Untuk proses itu butuh waktu dan perlu dilakukan penyemprotran desinfektan ruangan. Makanya pihak perawat jaga sampai menulis pengumuman ruang IGD penuh. Maksudnya itu perlu jeda waktu untuk evakuasi dan penyemprotan desinfektan, bukan menolak pasien,” ujar Dirut RSUD Dr. Soetomo Surabaya dr Joni Wahyuhadi saat jumpa pers di Grahadi Surabaya, Minggu 17 Mei 2020.
Menurut Joni, yang menjabat Ketua Gugus Satgas Covid-19 Jatim ini, merujuk pasien ke RSUD Dr. Soetomo itu ada mekanisme sistem rujukan yang harus dilalui dan sudah diatur dalam PMK rujukan No.1 tahuun 2012.
“Tak ada komunikasi sama sekali dengan pihak Soetomo. Padahal di RSUD Soetomo ada 4 call center yang bisa dihubungi. Tak etis lah, masak pasien hanya ditaruh IGD lalu ditinggall, ini khan kasihan pasiennya dan bikin repot pihak yang ketaruhan pasien,” ungkap Joni.
Senada, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa juga angkat bicara. Menurutnya dalam situasi kedaruratan seperti sekarang, pihaknya berharap antar institusi bisa menjaga tata krama (etika) regulasi dan mekanisme rujukan.
“Kalau misalnya membawa pasien tidak dikoordinasikan, rumah sakit itu lembaga yang ada komandannya masing-masing, lembaga yang tertib administrasi ya jadi kasihan pasien kalau kemudian langsung ditaruh di tinggal Siapa yang harus tanggungjawab disitu kemudian betul nggak masih tersedia kamar apa tidak, karena kan sesungguhnya di Radar Covid-19 itu bisa di-klik dan bisa diketahui langsung,” terang Khofifah.
Mantan Menteri Sosial (Mensos) ini tentu dapat memahami perasaan para pasien kok ditinggal begitu saja. “Hal-hal yang seperti ini saya minta tolong masing-masing tim memahami tata krama ini. Masing-masing tim menghormati masing-masing institusi yang punya regulasi dan regulasinya itu ada, jadi regulasi, bagaimana referensi sistem jadi sistem rujukan itu juga ada. Tolonglah supaya masing-masing kita didalam suasana seperti ini saling menjaga mencoba mencari solusi,” pinta orang nomor satu di Pemprov Jatim.
Khofifah lantas membeberkan PP No.21 tahun 2008 terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana, khususnya dalam Pasal 28 dibaca dan dipahami dengan baik. Ditegaskan Khofifah dalam ayat (1) dijelaskan bahwa dalam hal bencana tingkat kabupaten/ kota kepala BPBD kabupaten/ kota yang terkena bencana mengerahkan sumber daya manusia, peralatan dan logistik sesuai dengan kebutuhan ke lokasi bencana.
“Jadi ini adalah tanggung jawab kalau di pasal 28 dalam hal bencana tingkat kabupaten/ kota kepala BPBD kabupaten/ kota yang terkena bencana mengerahkan sumber daya manusia dan logistik sesuai dengan kebutuhan ke lokasi bencana,” bebernya.
“Ketika Pemkab /Pemko yang minta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menanggung biaya pengerahan dan mobilisasi SDM, peralatan dan logistik ke kota yang lain yang mengirimkan bantuan,” jelas Khofifah.
“Jadi saya minta tolong masing-masing kemudian menyadari kalau belum tahu aturan ini, mudah-mudahan sekarang sudah mau membaca PP No. 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana,” pinta Khofifah.
Advertisement