Pemkot Surabaya Buka Shelter Korban KDRT, Langkah Konkrit Lindungi Perempuan
Pemerintah Kota Surabaya mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan masih didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kepala UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Lingga Mahawan menerangkan, berdasar data yang dihimpun hingga akhir Mei 2024 lalu, total sebanyak 30 perempuan mengalami kekerasan. 22 di antaranya merupakan kasus KDRT dan 8 sisanya adalah kekerasan non KDRT.
Sementara itu, untuk tahun 2023 jumlah KDRT juga sama banyaknya. Dari 82 kasus kekerasan terhadap perempuan, 63 kejadian adalah KDRT. Rata-rata per bulan, sebanyak lima kaum perempuan Surabaya mengalami tindak kekerasan.
KDRT yang menimpa perempuan pun menimbulkan trauma yang membekas karena kekerasan fisik yang terjadi. Beberapa korban juga mengalami kekerasan psikis, seks, penelantaran ekonomi hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO).
"Jika dilihat dari data 2023 silam, KDRT fisik masih yang tertinggi. Diikuti dengan KDRT psikis, penelantaran ekonomi, dan terakhir KDRT hubungan seksual. Kalau tahun 2024 fisik dan psikis paling banyak mendominasi," ucap Lingga, Jumat 28 Juni 2024.
Oleh karena itu, Pemkot Surabaya melalui DP3APPKB akan membentuk rumah aman atau shelter bagi para perempuan yang menjadi korban KDRT di Kota Pahlawan untuk menjalani pemulihan secara fisik dan mental.
"Sekarang, yang tersedia baru shelter untuk anak-anak korban kekerasan. Nah yang ini untuk perempuan dewasa. Dengan hadirnya shelter tersebut, maka sarana bagi perlindungan perempuan dan anak di Kota Surabaya akan semakin," ujar Kepala DP3APPKB Kota Surabaya Ida Widayati.
Dirinya menjelaskan, shelter bagi perempuan korban kekerasan tersebut akan berada di bangunan UPT PPA yang berlokasi di Semolowaru. Bangunan itu terdiri dari 5-7 kamar, dijaga selama 24 jam, dan terdapat tenaga pendamping dan konselor yang berjaga penuh waktu.
"Teman-teman korban akan menjalani perawatan secara psikologis di sana. Juga menenangkan diri. Karena sebelumnya jika ada kasus, kami titipkan mereka ke NGO yang ada di Surabaya untuk ditampung sementara," ungkapnya.
Ida menjelaskan, shelter bagi perempuan korban kekerasan tersebut akan beroperasi penuh pada bulan depan. Dengan hadirnya rumah aman ini, ia berharap Pemkot Surabaya dapat lebih maksimal bekerja dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
"Salah satu kesulitan dari penanganan kekerasan terhadap perempuan adalah korban tidak mau melapor (ke kepolisian). Sehingga yang bisa kami lakukan adalah edukasi dan penguatan ke korban," tegasnya.
Sejalan dengan semangat menekan kasus kekerasan terhadap perempuan, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Ajeng Wira Wati mengatakan, pihaknya sedang menggodok peraturan daerah (perda) inisiatif tentang perlindungan perempuan.
Menurut politikus Gerindra ini, perda yang ada hanya sebatas membahas pengarusutamaan gender saja, belum masuk ke ranah yang lebih spesifik, yakni perlindungan dan pemberdayaan.
"Kami juga tengah membahas mengenai pembentukan Lembaga Penyedia Layanan Pemberdayaan Perempuan (LPLPP). Ini bukan soal perlindungan perempuan saja. Tapi bagaimana agar perempuan itu bisa berdaya juga," tutur Ajeng.
Dirinya juga menyatakan, pihak sudah bertemu dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA).
Menurutnya, KemenPPA mengapresiasi langkah yang dilakukan Surabaya. Ini akan menjadi koridor utama penyelesaian berbagai masalah yang dialami kaum hawa, mulai dari pengarusutamaan gender hingga kasus kekerasan seksual.
"Kami akan integrasikan peraturan-peraturan itu di sini (perda inisiatif). Sehingga bisa berkaitan ketika nanti dijalankan oleh Pemkot Surabaya," katanya.