Taman Siswa Akan Dibangun seperti Cafe Heritage
Kepala Bidang Bangunan dan Gedung Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang (DKPCKTR) Surabaya, Iman Krestian mengatakan, Museum Pendidikan Taman Siswa akan dibuat nuansa kekinian tanpa meninggalkan kesan kuno. Bahkan, museum baru itu akan terlihat seperti cafe heritage kekinian.
"Karena baru, kita mau fresh konsepnya. Biar orang tidak bosan. Jadi kayak di cafe gitu," kata Iman kepada ngopibareng.id, Kamis 17 Oktober 2019.
Ia memastikan, hingga hari ini, progres renovasi dan pembangunan museum pendidikan masih berjalan, dan sudah berada di angka 70 persen lebih. Menurut Iman, pembangunan museum tersebut memang tidak semudah membangun projek Pemkot lainnya. Karena bangunan itu cagar budaya, yang dilindungi oleh Peraturan Daerah.
Selain itu, beberapa hal memang agak rumit dilakukan. Seperti rekonstruksi dan replikasi beberapa komponen bangunan yang hilang atau rusak.
"Kesan bangunan kuno itu tetap tampak. Jadi, memang tidak sembarangan bangun," katanya.
Ia menargetkan, pada 10 November 2019, bangunan cagar budaya tersebut sudah bisa dibuka untuk umum sebagai Museum Pendidikan. Sehingga, tepat hari Pahlawan, masyarakat Surabaya sudah mempunyai lokasi wisata baru di Surabaya.
"Semoga bisa membuat senang orang Surabaya. Jadi tahu sejarah pendidikan Indonesia," katanya.
Pengamat sejarah dan cagar budaya, Freddy Istanto mengatakan, langkah Pemkot untuk membangun taman siswa sebagai museum pendidikan adalah langkah bagus. Namun, ia mewanti-wanti Pemkot, jangan sampai museum baru tersebut hanya dijadikam tempat mengumpulkan barang-barang kuno saja.
"Jangan sampai koleksinya ditumpuk-tumpuk seperti gudang tanpa inovasi," kata Freddy.
Ia berharap, Pemkot Surabaya bisa meniru cara kerja manajemen museum-museum sejarah di luar negeri khususnya Amerika Serikat dan Eropa. Seperti mengadakan lomba, diskusi, hingga penelitian bersama. Sehingga, masyarakat akan lebih tertarik datang ke museum tersebut
"Di luar negeri, mereka lebih suka ke museum daripada ke mall. Kalau di sini kebalikannya. Karena apa? Mereka tidak tahu harus ngapain di museum. Kalau di luar jelas, ada program ini itu, ada kegiatan ini itu. Meski bayar mahal, mereka tetap datang," katanya.
Advertisement