Pemkot dan PT Warna-Warni Didemo Warga karena Pajak Reklame
Selain aksi demo yang dilakukan ribuan orang untuk menolak pengesahan Omnibus Law, pada Kamis 8 Oktober 2020 ternyata di tempat lain juga terjadi aksi demo. Puluhan pemuda yang tergabung dalam Komunitas Peduli Aset Negara (KOMPAN) menggelar unjuk rasa di Kantor Pemerintah Kota Surabaya dan kantor perusahaan advertising Warna Warni.
Dalam aksinya, mereka mengatakan ada permainan pembayaran pajak reklame pengusaha di bidang advertising dengan Pemkot Surabaya. Mereka meminta ada transparansi data tentang perusahaan yang menunggak pajak reklame.
Setelah berorasi selama 1 jam lamanya, sekitar lima orang dari perwakilan masa aksi dipersilakan masuk ke kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) di Jalan Jimerto. Selang beberapa menit kemudian, perwakilan dari KOMPAN ini meninggalkan ruang Dispenda, dan menyampaikan kekecewaannya atas pertemuan tersebut.
"Kami meminta data angka riil tanggungan pajak reklame, termasuk dari perusahaan Warna Warni. Tapi dari pihak Dispenda tidak kooperatif," ujar Korlap aksi dari KOMPAN, Andi.
"Pemkot tidak mau membuka dengan alasan rahasia yang nggak bisa dibuka oleh pemkot. Kita diminta berkirim surat ke Bu Risma," tambahnya.
Karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Dispenda Kota Surabaya, mereka hendak menemui Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Namun, niat mereka tidak kesampaian karena dihadang oleh Satpol PP.
Gagal menemui Walikota Risma, pendemo melanjutkan aksi unjuk rasa di kantor perusahaan di bidang reklame di Surabaya, Warna Warni, di Jalan Panglima Sudirman.
"Kami datang ke sini karena menduga Warna Warni salah satu kantor perusahaan yang menunggak pajak retribusi reklame," ujarnya.
Di depan kantor Warna Warni yang kondisi pagarnya digembok, massa hanya berorasi sambil mengusung berbagai poster yang di antaranya bertuliskan 'Kawal Uang Rakyat', 'Pajak untuk rakyat', 'Kejar penunggak retribusi' dan berbagai poster lainnya.
Setelah sekitar satu jam melakukan aksinya, para pendemo memilih meletakkan poster-poster tuntutan mereka di pagar Kantor Warna-Warni. Andi mengatakan, pihaknya mempertanyakan bagaimana tentang retribusi pajak reklame, baliho dan lain sebagainya.
"Padahal di luar masih banyak orang-orang nggak bisa makan karena pandemi ini, tapi pemerintah memberikan kelonggaran pada pengusaha terkait pajak reklame baliho," terang Andi.
Dia menjelaskan Pemkot Surabaya tidak transparan terkait data pajak reklame yang belum dibayarkan. "Kita diminta bersurat ke Bu Risma. Kita kejar terus, kita akan kirim surat ke walikota," tuturnya.
Mahasiswa FISIP di salah atu perguruan tinggi negeri di Surabaya ini mengatakan, ketika toko, cafe dan usaha kecil menengah tidak membayar pajak reklame, pegawai Dispenda Pemkot Surabaya langsung menindak dengan memasang tanda silang merah.
"Tapi kenapa perusahaan-perusahaan yang besar kok tidak dilakukan hal yang sama (dengan usaha kecil menengah). Ini ketimpangan antara perusahaan yang besar dengan usah kecil maupun menengah," cetusnya.
Sementara itu, Public Relation PT Warna Warni Dinar Aisyah saat dikonfirmasi oleh awak media mengaku tidak bisa menyampaikan statement terkait pajak reklame. Namun, Dinar mengaku, pihaknya siap mematuhi aturan dari Pemkot Surabaya.
"Kami selalu mengikuti aturan yang ada," tutur Dinar.