Pemimpin Tak Kenal Seni dan Sastra Adalah Gelandangan
Oleh : Djoko Pitono Hadiputro
Hands have no tears to flow (Tangan tak punya airmata yang akan mengalir)
- Penyair Dylan Thomas
Judul tulisan di atas barangkali berlebihan: Pemimpin tak kenal seni dan sastra adalah gelandangan. Wah! Konotasinya memang negatif, walaupun tak semua gelandangan adalah orang jahat.
Tetapi saya cenderung setuju ketika dalam sebuah diskusi buku sastra tercetus ungkapan tersebut. Saya kemudian memperhatikan kehidupan para pemimpin, pejabat, atau politisi yang dalam perjalanan kariernya tersandung kasus korupsi atau kejahatan lainnya.
Bayangkan. Ada jenderal, profesor, gubernur, hingga menteri, bahkan kiai --- yang mestinya urusan uang sudah selesai – dipenjara karena korupsi. Selain itu juga para pemimpin atau pejabat yang ucapannya kasar, ngawur dan sok kuasa.
Ada pertanyaan, mengapa para politisi atau pemimpin korup? Jawabannya tentu beragam. Tetapi jarang yang mengaitkannya dengan dunia seni. Padahal, ada sebuah tesis yang boleh dikaji bahwa kedekatan seseorang, termasuk politisi atau pemimpin, dengan dunia seni dan sastra cenderung menjauhkannya dari praktik-praktik korup.
Tak perlulah menyebut nama-nama para koruptor yang beberapa tahun terakhir ini dicokok aparat hukum. Tetapi simaklah dengan seksama latar belakang kehidupannya, termasuk aktivitas sejak mudanya. Juga hobinya.
Pelajaran dari tokoh-tokoh dalam sejarah juga menunjukkan betapa besarnya manfaat yang diperoleh mereka di saat mereka bisa meluangkan waktu mereka untuk bergaul dengan seniman, sastrawan, atau budayawan, serta mengapresiasi karya-karya mereka. Ambil contoh misalnya Presiden RI Pertama Soekarno dan Presiden Amerika ke-39 pada paro kedua 1970-an, Jimmy Carter.
Kedua pemimpin itu sangat berbeda latar belakangnya, berbeda pengalamannya, tetapi ada yang sama: komitmennya untuk memperjuangkan keadilan. Keduanya dikenal sangat peka perasaannya terhadap hal-hal yang terkait dengan tindakan kesewenang-wenangan terhadap kaum miskin dan lemah. Keduanya punya hati yang halus, mudah tersentuh pada kaum papa.
Orang-orang yang kenal dekat dengan Bung Karno maupun Jimmy Carter menuturkan, kepekaan hati kedua tokoh itu sangat dipengaruhi oleh perhatiannya kepada karya-karya seni dan para senimannya. Sejarah mencatat misalnya bagaimana besarnya perhatian Bung Karno pada karya-karya seni lukis, wayang kulit, seni tari, dan sebagainya, apalagi Bung Karno juga dikenal sebagai pelukis (dan arsitek) yang luar biasa. Betapa akrabnya hubungan Bung Karno dengan para seniman.
Satu saat Bung Karno pun pernah bertutur pada Basuki Abdullah: “Dullah, seandainya aku tidak di dunia politik, mungkin aku akan menjadi seorang pelukis atau dalang.”
Jimmy Carter, sementara itu, dikenal sebagai negarawan yang sering sibuk melukis di waktu senggangnya, menulis puisi, dan akrab dengan para penyair. Pada 7 Juli 2015, Jimmy Carter menerbitkan buku barunya, A Full Life: Reflections at Ninety, yang berisi puisi-puisi dan lukisan-lukisan karya presiden AS ke-39 tersebut. Carter bukanlah orang baru di dunia seni.
Salah satu lukisannya, Live Oak at Sunrise, terjual 250.000 dollar AS di acara pengumpulan dana Carter Center pada 2012. Dan dalam buku barunya ini, Carter menampilkan lukisan-lukisannya terkait ayah, ibu, dan istrinya Rosalynn, rumah masa kecilnya. Berbagai lukisan itu dikerjakannya puluhan tahun. Sedang puisi-puisinya sebelumnya pernah diterbitkan dalam koleksinya tahun 1994, Always a Reckoning.
Carter mulai belajar kenal dengan puisi ketika menemukan buku bekas yang berisi puisi-puisi Dylan Thomas di gudang kacang kediamannya. Kesukaannya pada puisi akhirnya berkembang hingga ia berkenalan dengan banyak penyair terkenal Amerika. Ketika ia dilantik menjadi Presiden AS, penyair Robert Frost diundangnya untuk membacakan puisinya.
Dalam buku otobiografinya, Carter mengutip kata-kata Dylan Thomas, “Hands have no tears to flow…Tangan tak punya airmata yang akan mengalir…” Ia juga mengutip yang lain:
Great is the hand that holds dominion over
Man by a scribbed name.
Apa maksudnya? Carter mengatakan, “bagi saya, ini berarti bahwa seorang kuat dengan daya terobos yang kokoh terhadap sebuah bangsa…dapat bersifat tak sensitif (kepada perasaan orang lain).”
Ia pun melanjutkan, “terpisahnya kekuasaan dari rakyat kadang tak diketahui oleh para pemimpin yang kuat. Dan sifat tidak peka, yang memang sudah terkandung dalam tiap kekuasaan, seharusnya merupakan peringatan bagi kita.” Tangan memang tak punya airmata yang akan mengalir.
Dylan Thomas memang penyair yang luar biasa. Meski kurang dikenal, karya-karyanya istimewa. Bob Dylan, musikus pertama pemenang Hadiah Nobel Kesusasteraan 2016, juga terinspirasi dari puisi-puisi karya Dylan Thomas. Namanya pun mengadopsi sebagian nama Dylan Thomas, dari semula Robert Allen Zimmerman.
Mengingat kisah Bung Karno dan Jimmy Carter, kita pun merasa bergembira bila melihat para pejabat dari bupati, gubernur, menteri hingga presiden bergaul akrab dengan para seniman. Memang ini terkait dengan kepentingan seni, tetapi juga kepentingan tokoh-tokoh itu sendiri, bagi pribadi dan hati nuraninya sehingga tetap terjaga kehalusan dan kepekaannya.
Perhatian kepada para seniman dan budayawan juga sudah pada galibnya, apalagi di tengah gencarnya serbuan media global yang membawa nilai-nilai asing yang dalam batas tertentu merusak seni dan budaya bangsa sendiri. Perhatian terhadap seni wayang kulit, misalnya, sudah selayaknya diberikan. Apalagi lembaga internasional Unesco telah memberikan penghargaan dengan menetapkan wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
Wayang kulit sebagai buah karya akal-budi manusia Indonesia sudah lebih dari 1.000 tahun eksistensinya. Daya tahan dan daya kembang wayang telah teruji dalam menghadapi tantangan zaman sehingga seni pedalangan berhasil mencapai kualitas seni yang tinggi. Wayang sebagai pertunjukan dikenal sangat unik karena merupakan perpaduan seni drama, seni musik, seni suara, seni sastra, seni tari, dan seni rupa. Wayang hadir dalam wujudnya yang utuh baik dalam segi estetika, etika maupun filsafatnya.
Tetapi bagaimanakah nasib para seniman wayang, seperti dalang, sinden, pengrawit, perajin wayang dan juga perajin gamelan? Sayangnya, jawabannya memang negatif. Banyak seniman dari seni adiluhung itu yang hidupnya tersaruk-saruk, antara lain makin kurangnya minat masyarakat untuk nanggap wayang.
Ini sangat ironis. Ironis karena Unesco menegaskan bahwa pengakuan atas ruang-ruang budaya serta bentuk-bentuk ekspresi budaya itu mencerminkan penghargaan terhadap kreativitas dan beragam kearifan lokal yang ada di setiap suku bangsa. Pemberian penghargaan itu disertai harapan agar adikarya suku-suku bangsa tersebut dilindungi dan dilestarikan.
Naiknya prestise wayang kulit di panggung dunia itu tentunya mestinya mampu meningkatkan motivasi para pecinta dan pelestari adikarya itu. Sudah lama, misalnya, bahkan 100 tahun lalu, musik klasik Jawa (karawitan) telah diakui oleh komponis top Debussy sebagai karya agung budaya sejajar musik klasik Eropa. Penyelenggaraan International Gamelan Festival (IGF) di Solo, Jawa Tengah, pada 9-16 Agustus yang laku hanyalah sebuah contoh bagaimana banyak orang asing justru gandrung pada karya budaya Jawa itu.
Di saat perhatian terhadap karya seni bangsa sudah lama dihargai di luar negeri, banyak di antara kita malah tidak mengenalnya, apalagi memberikan apresiasi. Tetapi rasa kecil hati seperti ini harus diakhiri, dari langkah yang sederhana saja, mulai memperhatikan peningkatan apresiasi seni di sekolah-sekolah kita.
Peningkatan tersebut bisa mencakup semakin tersedianya guru-guru seni di sekolah-sekolah secara memadai. Siapa pun rasanya sepakat, sekolah sangat efektif untuk mengembangkan perhatian anak-anak kita terhadap berbagai karya seni.
Dalam kata-kata pujangga tersohor Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, seni dan sastra menjaga hati kita. “Orang perlu mendengarkan sedikit musik, membaca satu dua bait puisi, dan menikmati pemandangan indah (termasuk lukisan) setiap hari, agar fokus kehidupannya dalam memikirkan keduniawiaan tidak merusak hati dan pikirannya,” kata Goethe.***