Pemimpin Muslim Rohingya Ditembak Mati di Kamp Bangladesh
Mohibullah, pemimpin Muslim Rohingya terkemuka telah ditembak mati di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh selatan, Rabu kemarin. Mohibullah, 48, memimpin salah satu kelompok komunitas terbesar terdiri dari sekitar 730.000 orang Rohingya, melarikan diri dari Myanmar setelah dibantai secara brutal oleh militer Myanmar pada Agustus 2017.
Mohibullah sedang berbicara dengan para pemimpin pengungsi lainnya di luar kantornya, setelah melakukan menghadiri shalat malam, ketika seorang pria bersenjata tak dikenal menembaknya setidaknya tiga kali, kata Mohammad Nowkhim, kata juru bicara Masyarakat Arakan Rohingya untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia (ARPSH) Ullah, hari Kamis.
“Dia ditembak mati secara langsung,” katanya kepada kantor berita AFP dari tempat persembunyian, karena pembunuhan itu membuat banyak pemimpin Rohingya bersembunyi.
Mohibullah dilarikan ke rumah sakit utama Medecins Sans Frontieres (MSF atau Doctors Without Borders) di kamp tersebut. Tapi dia keburu meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit, kata seorang tenaga medis.
Rafiqul Islam, seorang wakil inspektur polisi di kota terdekat Cox's Bazar, Bangladesh mengatakan membenarkan bahwa Mohibullah telah ditembak mati tetapi tidak memiliki keterangan lanjutan.
Seorang juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi manyatakan sangat sedih dengan pembunuhan yang menimpa Mohibullah ini.
Amnesty International mendesak penyelidikan menyeluruh atas kematian Mohibullah dan agar pihak berwenang Bangladesh dan badan pengungsi PBB bekerja sama untuk memastikan perlindungan orang-orang yang tinggal di kamp-kamp, yang menurut kelompok itu menghadapi masalah kekerasan yang meningkat, yang sering dikaitkan dengan kontrol. dari obat-obatan terlarang.
“Pembunuhannya memberikan efek mengerikan di seluruh komunitas,” Saad Hammadi, Juru Kampanye Asia Selatan Amnesty, mengatakan dalam sebuah pernyataan email. “Tanggung jawab sekarang ada pada pihak berwenang Bangladesh untuk mempercepat penyelidikan atas pembunuhannya, dan membawa semua orang yang diduga bertanggung jawab pidana ke pengadilan, kata Saad Hammadi.
Mohibullah pernah diundang ke Gedung Putih untuk berbicara dengan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mohibullah adalah salah satu pendukung paling terkenal untuk Rohingya yang perlakuannya sekarang menjadi subjek penyelidikan genosida di Den Haag.
Mohibullah membentuk ARPSH di kamp Bangladesh beberapa bulan setelah masuknya pengungsi dari Myanmar, dan membantu menyelidiki serangan yang dilakukan oleh tentara Myanmar dan milisi Buddha selama penumpasan.
Pada Agustus 2019, Mohibullah mengorganisir rapat umum besar-besaran di kamp Kutapalong, pemukiman utama Rohingya, yang dihadiri sekitar 200.000 orang Rohingya. Rapat umum itu juga menetapkannya sebagai pemimpin di antara para pengungsi.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, pasukan keamanan Bangladesh membatasi kegiatan kelompok Mohibullah dan ARPSH tidak diizinkan untuk mengadakan rapat umum selama peringatan penumpasan pada tahun 2020 dan 2021.
Human Rights Watch mengatakan Mohibullah sering menerima ancaman pembunuhan atas pekerjaannya.
“Mohibullah adalah suara penting bagi Rohingya yang telah menderita kehilangan dan rasa sakit yang tak terbayangkan ketika mereka tiba sebagai pengungsi di Bangladesh,” kata Meenakshi Ganguly, direktur Asia Selatan di HRW.
“Mohibullah selalu membela hak-hak Rohingya untuk kembali dengan aman dan bermartabat dan memiliki suara dalam keputusan mengenai kehidupan dan masa depan mereka. Pembunuhannya adalah demonstrasi nyata dari risiko yang dihadapi oleh orang-orang di kamp-kamp yang berbicara untuk kebebasan dan menentang kekerasan,” kata Meenakshi Ganguly seperti dikutip Al Jazeera.(*)