Pemimpin, Islam dan Umat Islam
Makin mantap rasanya kesimpulan saya soal betapa pentingnya Islam dan kepemimpinan itu. Variabel Islam sebagai salah satu unit analisis, memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam tata kelola kepemimpinan di negeri ini.
Oleh karena itu, saya harus buru buru berkesimpulan bahwa siapa saja yang ingin menjadi pemimpin di Indonesia, haruslah mengerti Islam dan Umat Islam. Islam dan Umat Islam secara parsial maupun secara simultan memiliki pengaruh yang sangat besar pada sukses atau tidaknya seorang pemimpin dalam melaksanakan amanah rakyat dalam level apapun.
Mengapa? Karena Islam adalah sumber nilai yang unlimited dalam hidup umat manusia. Nilai-nilai Islam yang substantif sesungguhnya tidak hanya didesain oleh Allah hanya untuk kaum muslimin. Tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Atas dasar pikiran itulah maka Islam adalah sumber nilai yang bisa dikonsumsi oleh umat manusia secara universal; lepas dari batas-batas suku bangsa, agama, aliran ideologis, apalagi egoisme kaum relawan politik.
Walhasil Islam harus dipelajari secara serius oleh semua orang yang ingin menjadi pemimpin di negeri ini. Memahami Islam bagi seorang pemimpin Indonesia adalah keharusan yang tidak bisa ditawar tawar. Pengetahuan dan wawasan Islam adalah penting agar seorang pemimpin mampu mengambil kebijakan yang benar atas umat Islam yang menjadi pemilik saham terbesar dari Republik ini.
Partisipasi umat Islam yang besar itu menjadi kata kunci maju mundurnya Indonesia. Tanpa partisipasi umat Islam, sebuah rezim tidak akan sukses dan kerap akan mengalami hambatan dan rintangan yang serius. Bahkan sejarah telah membuktikan bahwa rezim yang tidak pro terhadap muslim, akan tumbang ditelan sejarah. Ajakan ini bukan berarti lantas seorang pemimpin boleh mendiskriminasi umat selain Islam, tidak sama sekali. Ini hanya persoalan logika dan cara berfikir dalam menangani politik di negeri ini.
Jika sebuah rezim berhasil menyenangkan Umat Islam, maka saya pastikan, rezim itu akan jauh lebih mudah menyenangkan dan membahagiakan Umat Nasrani, Umat Budha, dan Umat Hindu. Sebab ajaran paling dasar dari umat non Islam itu adalah sama dan sebangun dengan nilai- nilai fundamental Islam itu sendiri.
*
Islam menganjurkan tentang pentingnya seorang pemimpin bersikap adil untuk manusia. Artinya jika seorang pemimpin berlaku adil sesuai ajaran Islam, maka semua umat selain umat Islam akan merasa nyaman, tentram dan bahagia. Sebab keadilan itu juga ajaran dasar semua agama di negeri Pancasila ini.
Keadilan menjadi penting bagi semua orang. Sedang ketidakadilan akan menguncang rasa nyaman, tidak aman, resah dan mengganggu pertumbuhan pergaulan sosial yang sehat. Ketidakadilan melahirkan banyak kerusakan dalam masyarakat. Ketidakadilan dapat melahirkan ketimpangan sosial ekonomi, kecemburuan, dan bahkan akan memicu proses revolusi sosial. Praktik ketidakadilan biasanya dipicu oleh ambisi yang berlebihan dari orang-orang tamak dan rakus.
Membiarkan orang tamak leluasa merampas seluruh aset negara dan akses atas sumber- sumber ekonomi, sama halnya dengan tiadanya negara dalam masyarakat. Negara tercipta karena adanya perasaan bersama seluruh rakyat untuk dapat menikmati kekayaan alam secara proporsional dan berkeadilan.
Inti ajaran Islam tentang keadilan sosial adalah kebutuhan semua orang agar hidup lebih sejahtera dan beradab. Hidup sejahtera adalah penting dan menjadi cita-cita semua orang tanpa membedakan agama dan atribut sosial lainnya. Disamping kesejahteraan, manusia juga membutuhkan praktik-praktik hidup berkeadaban. Mengapa? Hal itu penting karena kehidupan umat manusia memang harus terbedakan dengan kehidupan binatang buas di dalam hutan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dimuka Bumi. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk menciptakan keadilan tersebut secara maksimal. Jika negara wabilkhusus pemerintah abai atas keadilan maka otomatis akan terjadi instabilitas sosial sebagai konsekuensi logis dari tindakannya.
Umat Islam sebagai faktor
Menurut data dari Global Religius Future yang dirilis 2019, jumlah Umat Islam Indonesia sebesar 256.820.000, Nasrani sebesar 32.200.000, Hindu sebanyak 4.150.000, Budha 1.740.000, agama lokal 700.000, lainnya 410.000. Dari data itu terlihat bahwa umat Islamlah yang terbesar. Artinya jika pemerintah mampu memajukan umat Islam, maka berarti pemerintah berhasil memajukan negara. Begitu pula sebaliknya jika pemerintah gagal memajukan umat Islam, maka akan gagal memajukan negara.
Namun mengapa kemajuan atas umat Islam Indonesia kerapkali terpasung. Mereka dibuat ribut dengan mereka sendiri. Sedangkan umat lain terkadang diadu satu sama lainnya. Jawaban yang palinI rasional saat ini adalah karena ada pihak yang tidak menginginkan Indonesia itu tampil sebagai bangsa yang maju dan beradab.
Bangsa Indonesia yang majemuk menjadi modal bagi pembenci negara ini untuk dipecah belah satu dengan lainnya. Namun dari sekian agama yang ada itu Islam menjadi sasaran nomor satu untuk dipecah belah. Islam yang dalam sejarahnya memiliki orientasi yang berbeda sebagai konsekuensi logis dari munculnya faksi-faksi ideologis yang ada menjadi titi masuk untuk dipertentangkan. Mereka sengaja mempertajam perbedaan Sunni-Syiah, Sunni-Salafi, pendamba Khilafah vs penentangnya, NU vs Muhammadiyah, kelompok Takhfiri vs penentangnya.
Saat ini, pertentangan juga terjadi pada level yang melintasi agama. Seperti yang terjadi pada pembelahan sosial akibat perbedaan pilihan semenjak pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan berlanjut pada pemilihan presiden 2014-2019 lalu. Kondisi itu masih terasa nyata hingga saat ini. Pertentangan dengan aneka rupa friksi dalam masyarakat tersebut adalah bahan bakar yang melimpah untuk membakar negeri ini setiap saat.
Sikap oportunis elit politik yang memilih berkoalisi atas dasar kepentingan sempit dan jangka pendek ikut memperparah keadaan di negeri ini. Bangsa ini lantas kehilangan keteladanan yang memadai bagi rakyatnya. Di tengah kondisi yang demikian, sulit bagi rakyat untuk ikut berpartisipasi aktif memajukan negaranya, sebab mereka kehilangan rasa percaya diantara mereka sendiri.
Dalam hubungan internasional, Indonesia seringkali dipuja sebagai bangsa yang hebat. Padahal sejatinya, pujian itu sama dan sebangun dengan pujian orang dewasa terhadap anak kecil yang sedang tumbuh mencari jati dirinya. Banyak kesalahan yang dilakukan si anak kecil itu, namun demi untuk menyenangkan mereka, dengan sadar mereka membuai-buainya agar tidur terlelap. Dalam kondisi itu, bangsa ini seperti sedang dimasukkan ke dalam karung goni yang diayun-ayunkan agar sibuk sendiri dalam karung itu. Sementara bangsa lain akan lebih mudah mempermainkannya. Inilah tragedi bangsa yang terfragmentasi (fragmented society).
Di masa Covid-19 ini, dimana negara lain sedang sibuk dengan diri mereka sendiri, adalah waktu yang tepat bagi kita untuk merenungkan kembali mencari jati diri bangsa ini. Hal ini penting dilakukan agar kita bisa menemukan bangsa ini lahir menjadi bangsa yang betul-betul berdaulat dan bermartabat. Semoga.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)