Pemilu-Pilpres Gagal Paham Pancasila!
Jargon Pemilu yang sangat populer kita kenal selama ini adalah ‘Pemilu Yang Bebas, Jujur Adil, Bersih & Rahasia’. ‘Bebas’ dalam pengertian bahwa seorang calon pemilih harus bebas dari berbagai tekanan apa pun, baik tekanan lewat jalur struktural maupun kultural, plus agama. ‘Jujur Adil’ dimaksud agar peserta pemilu anti kecurangan dan perbuatan menzalimi lawan maupun rakyat sebagai stake holder terbesar dan utama. Kata ‘Bersih’ dimaksud adalah bersih dalam pengertian tidak terlibat atau dengan sengaja melakukan praktik money politic maupun segala bentuk transaksi jual beli suara. Sementara kata ‘Rahasia’ dalam pengertian seorang calon pemilih diminta, dibenarkan, dan secara hukum dilindungi haknya untuk merahasiakan pilihannya.
Mungkinkah Pemilu-Pilpres kali ini dapat bebas sebagaimana per definisi ‘Bebas’ seperti di atas? Memperhatikan dan memantau langsung di lapangan, definisi bebas telah diterjemahkan sebagai tindakan ‘bebas’ untuk memenjarakan kebebasan itu sendiri. Dalam pengertian, bebas melakukan tekanan fisik maupun psikologis kepada pihak yang berbeda pilihan. Tekanan dilakukan dengan cara yang paling halus hingga yang paling kasar. Dari yang paling lembut hingga yang paling keras.
Begitulah kebebasan diterjemahkan dalam praktik di lapangan kampanye politik Pemilu-Pilpres 2019 yang tengah berlangsung. Dengan kata lain, seluruh gerak kegiatan politik dalam melakukan kampanye yang menjadi salah satu agenda penting Pemilu-Pilpres, pelaksanaannya cenderung berdampak pada merebaknya pembodohan kepada rakyat, ketimbang melahirkan pencerdasan dan pencerahan.
Penyetopan pemberian kerja kepada pengusaha atau mutasi kepada personil pegawai oleh oknum pejabat atau pengusaha terhadap bawahan maupun para kontraktor pencari kerja yang berbeda pilihan capres. Melakukan teror terbuka yang sering kali dilakukan secara fisik, seperti perusakan atribut partai ataupun alat peraga dari partai maupun caleg lawan politik. Bahkan perusakan tempat ibadah maupun posko lawan politik; dan penyerangan fisik kepada kelompok pendukung pilpres tertentu maupun partai tertentu, sudah menjadi pemandangan yang tak asing lagi di mata rakyat bangsa ini. Nah, ‘bebas’ dalam kebebasan seperti inilah yang belakangan ini justru kuat menggejala dan merebak dalam praktik lapangan.
Mungkinkah terselenggara Pemilu-Pilpres yang Jujur-Adil dan Bersih? Dengan pilihan liberalisme yang telah melahirkan Demokrasi Liberal yang kita adopsi secara overdosis ini, pemilu yang jujur-adil dan bersih sudah gagal sejak ia dicanangkan! Dalam sistem ini istilah pemilu biaya tinggi pasti dirasakan oleh setiap caleg, capres, maupun partai peserta pemilu. Berbagai strategi diberlakukan untuk memenangkan yang kesemuaannya bertumpu pada satu strategi utama: bagaimana ‘membeli’ suara! Karena berorientasi pada strategi jual program tidak laku dan ternyata belum menjadi barang ‘jualan’ yang diminati oleh pasar politik Pemilu hingga sekarang.
Maka, berlomba menyebar uang dalam upaya menghimpun dukungan, menjadi lagu wajib yang pasti dan selalu berkumandang. Setidaknya uang harus mengalir deras untuk memenuhi kebutuhan menghadirkan alat peraga dalam berbagai bentuk dan jenis. Termasuk biaya menghadirkan saksi. Pendek kata, rakyat sudah bertahun-tahun dan dalam beberapakali pemilu dididik untuk mendendangkan lagu ‘Ada Uang Abangku Sayang, Tak ada Uang Abang Melayang’. Semua serba uang dan serba trasaksional.
Dalam situasi yang serba transaksional ini, kata ‘Jujur Adil Bersih’ sebagaimana harapan, sangat tidak mungkin terselenggara. Karena para calon diharuskan oleh sistem yang diberlakukan untuk lihai menjadi seorang ‘pembeli’ suara, pembohong, maupun pembunuh kawan separtai yang beda nomer urut sebagai calon legislator. Sementara di sisi lain, rakyat diajarkan untuk pandai dan menjadi ahli sebagai penjual suara maupun penjual jasa di setiap pemilu.
Perbuatan jujur bersih dan adil dengan sendirinya terhapus oleh sistem Pemilu-Pilpres yang miskin tinjauan latar belakang sosial-budaya bangsanya sendiri ini. Dengan demikian, kata ‘Jujur Adil Bersih’ pun menjadi kata yang hanya ada dalam kamus. Atau, hanya dipakai untuk mengentalkan pencitraan kesuciaan seseorang maupun institusi plus kelompok kaum munafikun yang sangat menikmati perilaku menyimpang. Tragisnya mereka melakukan kebohongan dan perbuatan tercela ini secara santai tanpa merasa bersalah, karena sudah dianggap sebagai suatu kelaziman perilaku dalam dunia politik kita.
Lalu bagaimana soal rahasia? Sudah dapat kita saksikan belakangan ini bagaimana upaya yang dilakukan tim pemenangan masing-masing Capres (01&02) yang terus berusaha agar setiap warga bangsa dilekatkan di kening mereka stempel pilihan masing-masing agar memperjelas pemisahan kubu pilihan. Bila tidak stempel nomer 01 ya nomer 02. Pemberian stempel ini dilakukan secara masif dan terbuka. Dilakukan atas nama pribadi, perkawanan, sejawat lingkungan kerja maupun keluarga, oleh para tokoh-pemimpin kelompok masyarakat, oleh atasan tempat bekerja, maupun (dalam konteks pilpres) pemaksaan atau tekanan psikologis untuk memihak atau mendeklarasikan dukungan terhadap Capres 01 atau 02 lewat komando struktural. Sehingga massa rakyat pun terbelah menjadi dua kubu yang saling berhadapan dalam semangat perbedaan dan permusuhan yang kian hari semakin menajam dan meruncing.
Dari realita perwajahan dan produk Pemilu-Pilpres yang digelar lewat sistem politik yang diberlakukan, jelas-jelas penyelenggaraan Pemilu-Pilpres telah membuahkan hasil yang kontra produktif, destruktif, dan tidak ada positifnya dalam upaya bangsa ini membangun sebuah peradaban berdemokrasi sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Dengan kata lain Pemilu-Pilpres ini total gagal paham terhadap amanat Pancasila seagai pandangan hidup bangsa. Terutama ketika diperhadapkan pada Sila Ketiga dan Keempat yang pada akhirnya melahirkan dampak terhapusnya kewajiban memuliakan Sila Kesatu, Kedua, dan Kelima.
Dengan kenyataan yang sudah terlalu jelas bertentangan dengan dasar dari segala dasar-sumber hukum negara dan bangsa ini (baca: Pancasila), apakah para akademisi, pemikir, budayawan, dan negarawan (bila masih ada), akan terus melanggengkan ‘penghianatan’ terhadap cita-cita Indonesia merdeka tanpa ada lagi keinginan untuk melakukan kaji ulang terhadap sistem Pemilu-Pilpres yang telah terbukti gagal paham Pancasila ini? Celakanya banyak yang malah larut dan turut bermain dalam kubangan pembodohan ini.
Kalau toh ada selentingan dari kaum liberalist yang selalu menuding bahwa melakukan kaji ulang sistem pemilu agar lebih sesuai dengan amanat Pembukaan UUD’45, mereka katakan sebagai suatu kemunduran berpikir dan bertindak, tak lagi perlu didengar. Mereka bersuara karena harus bersuara sebagaimana suruhan ‘tuan mereka’ yang selama ini selalu berada di balik layar permainan: meniadakan Indonesia; yang dilakukan dengan menjauhkan bangsa ini dari natur dan kultur bangsanya sendiri.
Sebagai kesimpulan dari perilaku menyimpang dan perusakan peradaban bangsa ini secara sistemik lewat Pemilu-Pilpres (perlahan tapi pasti), sudah saatnya kita canangkan pengakuan massal bahwa musuh utama dan terbesar bangsa ini adalah kebodohan dan kondisi gagal paham Pancasila yang begitu jelas dipertontonkan oleh para elite politik dan para pemimpin di negeri ini.
Mudah-mudahan saya salah, walau begitu teryakini oleh kenyataan di depan mata yang saya tangkap dan rasakan setiap hari! Pertanyaannya; sampai kapan akan tetap bertahan dalam kebodohan seperti ini?
*) Oleh Eros Djarot-dikutip sepenuhnya dari laman watyutink.com