Pemilihan Legislatif Melenggang Sepi, Kalah dengan Pilpres
Pemilu serentak 2019 meliputi pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR, DPRD I, DPRD ll dan DPD atau Dewan Perwakilan Daerah, sampai saat ini baru pemilihan presiden yang ada gaungnya. Sedangkan Pemilu untuk calon anggota legislstif masih adem ayem.
Meskipun beberapa calon anggota legislatif sudah mengkampanyekan fotonya melalui alat peraga kampanye namun publik tidak mempedulikannya. Bahkan ketika melihat alat peraga kampanye seorang caleg yang roboh karena diterpa hujan dan angin, tidak ada yang berniat mengembalikan ke posisi semula.
Beberapa warga mengatakan, bukan urusannya. Alasan lain, tidak kenal dengan caleg tersebut. "Bukan urusan saya , ngapain repot repot Pak. Biar diperbaiki sendiri oleh yang pasang. Mereka kan dibayar," kata Sumarno, warga Palmerah, Jakarta Barat.
Pemilu di Jakarta berbeda dengan provinsi lain, yakni minus pemilihan anggota DPRD II. Pada 17 April 2019 nanti, warga Jakarta hanya mengikuti Pilpres, DPR RI. DPRD I dan pemilihan calon anggota DPD RI. Sedang daerah lain ditambah dengan DPRD II.
Fenomena ini menjadi tantangan bagi politisi muda yang baru terjun ke dunia politik dan berambisi ingin menjadi anggota DPR. Mereka harus mencari suara sendiri dengan biaya sendiri yang cukup besar.
Bagi caleg yang duitnya pas-pasan, hanya bermodal alat peraga kampanye yang ditempelkan di pohon pohon dan tiang listrik, kemungkinan meraih suara sangat kecil. Kalah dengan caleg yang sudah punya nama, modalnya besar dan bisa bagi sembako, supaya memperoleh dukungan suara.
Maria, seorang calon anggota DPR RI Dapil 3 DKI Jakarta, mengatakan, sejak mendaftar sebagai calon anggota legilatif sampai sekarang sudah menghabiskan anggaran sekitar Rp 325 juta.
Dana sebesar itu terpakai untuk pertemuan dan membuat alat peraga kampanye. Namun sayang, meski sudah mengeluarkan uang ratusan juta, dia menilai, belum ada hasil yang signifikan. Maria harus bersaing dengan politisi senior.
"Saya baru kali ini terjun ke politik dan langsung mencoba jadi calon legislatif," kata Maria.
Alumni fakultas hukum sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta ini selain mengkampanyekan dirinya sendiri, dia wajib berkampanye untuk calon presiden yang didukung partainya.
"Yang dikenal malah capresnya, sedang saya tidak," ujarnya.
Pengamat Politik dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan, fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari pemilu serentak yang mungkin baru ada di Indonesia.
Pemilu semacam ini pasti ada yang jadi korban. Pemilih tentu tidak mau repot. Pemilihan presiden dianggap publik lebih menarik dibandingkan dengan pemilihan calon anggota legislatif.
"Ini isyarat yang kurang baik bagi partai politik yang tidak dikenal. Bisa tersingkir," kata guru besar LIPI tersebut.
Sementara elektabilitas parpol berdasarkan survei ETOS Indonesia:
PDIP 21,2 persen, Gerindra 19,8 persen, Golkar 16,1 persen, Partai Demokrat 14,9persen, PKB 6,7persen, Partai NasDem 3,1 persen, PAN 2,9 persen, Partai Perindo 2,6 persen, PKS 2,3 persen, PPP 2,1 persen, Partai Hanura 1,6 persen,
PBB 1,4 persen, PKPI 1,1 persen, Partai Berkarya 1.9 persen, PSI 1,7 persen
Partai Garuda 0,4 persen.
Merujuk hasil survei ini, diperkirakan hanya lima pertai peserta pemilu yang bisa melenggang ke senayan, yakni partai politik yang perolehan suaranya di atas 4 persen sesuai UU Pemilu. Lima partai itu PDI P, Gerindra, Golkar, Demokrat dan PKB. (asm)