Pemilu Damai, Perlu Peran Generasi Milenial
Pemilu adalah kompetisi. Dalam kompetisi selalu ada cara-cara yang dilakukan agar memenangkan jagoannya. Sehingga dalam cara-cara itu salah satunya ialah mencari cara untuk menghalangi lawan mencapai tujuan. Pemilu juga menjadi ajang kontestasi.
Orang-orang yang berjuang ramai-ramai menunjukkan potensi terbaiknya agar dipilih menjadi salah satu wakil rakyat.
“Karena kompetisi sampai orang-orang berusaha mengeluarkan talenta terbaiknya. Karena berusaha menampilkan kesan yang terbaik,” ujar Bambang Eka Cahya Widodo, Akademisi Ilmu Politik, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Minggu 10 Maret 2019.
“Selain itu, yang namanya pemilu pasti mengandung unsur partisipasi. Jogja nomer 1 dari sisi angka partisipasi pemilu,” lanjutnya.
“Itu adalah tingkat partisipasi paling rendah. Kalau cuma datang ke TPS kemudian memilih. Padahal anak-anak milenial bisa berpartisipasi pada banyak kegiatan. Semua tahapan pemilu bisa diikutkan. Anda harus cek dimana TPS-nya itu termasuk partisipasi. Kemudian bisa berpartisipasi dalam pemantauan pemilu. Jadi banyak sekali kegiatan,” kata Bambang Eka Cahya Widodo.
Namun, kata Bambang yang juga Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini, kebanyakan orang mengira partisipasi itu hanya datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) saja, kemudian memilih.
“Itu adalah tingkat partisipasi paling rendah. Kalau cuma datang ke TPS kemudian memilih. Padahal anak-anak milenial bisa berpartisipasi pada banyak kegiatan. Semua tahapan pemilu bisa diikutkan. Anda harus cek dimana TPS-nya itu termasuk partisipasi. Kemudian bisa berpartisipasi dalam pemantauan pemilu. Jadi banyak sekali kegiatan,” jelasnya.
Ia mengungkapkan hal itu, sebelumnya dalam acara Dialog Pemuda ‘Mencari Pemimpin yang Ideal, Milenial Cerdas Memilih’ yang digelar Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Bale Kanoman, Sabtu 9 Maret.
Perwakilan Bawaslu DIY Cicik, mengatakan kegiatan Pemilu ini cara pergantian kepemimpinan yang legal dan sah bahkan dilindungi undang-undang.
“Kalau kita mengganti kepemimpinan tidak melalui pemilu maka itu makar. Inilah waktunya kita pesta, pesta untuk mengganti pemimpin kita lima tahun kedepan. Sebagai generasi milenial kita harus cerdas. Meski pemilu dilindungi UU ini juga merupakan ajang perebutan kekuasaan. Sehingga disana sini banyak terjadi pelanggaran, sekuat apapun kami melakukan pengawasan masih saja terjadi pelanggaran,” jelas Cicik.
Menurutnya, pelanggaran Pemilu di masyarakat tidak mungkin direduksi kalau tidak ada partisipasi masyarakat juga teman-teman milenial.
“Maka saatnya teman-teman berpartisipasi. Sebagai anak muda tidak cukup hanya berperan serta memilih nyoblos tetapi ada peran penting lainnya salah satunya pengawasan,” tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Media Sosial Dede Dwi Kurniasih mengatakan media sosial memang memiliki tempat tersendiri bagi para milenial.
Ia menuturkan, tidak dipungkiri bahwa media sosial menjadi salah satu tempat bagi para calon berkampanye. Terkadang yang membuat heboh di media sosial itu karena postingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
“Postingan di media sosial itu, foto bisa jadi real tapi captionnya bisa tidak nyambung. Nah caption ini yang biasanya membuat masalah,” ucapnya.
Selain itu, Dede juga menemukan banyak juga berita yang dipotong disambung dengan berita lain padahal konteksnya berbeda. “Dua kubu banyak melakukan pencintraan terus seperti itu setiap hari. Banyak isu-isu yang sengaja di goreng dari masing-masing kubu,” ungkap Dede.
Merujuk pada data Penelitian UGM, Dede mengatakan 43% yang disebarkan di media sosial itu opini sedangkan sisanya buzzer yang posting foto dan caption.
“Sudah banyak orang mulai tidak percaya dengan hal-hal di media sosial, bahkan ke media cetak juga, jadi bingung mau tanya kemana,” tuturnya. (adi)