Pemerintahan Menggerakkan
Tiba-tiba, Presiden Joko Widodo mendekati Walikota Surabaya Eri Cahyadi. Ia menanyakan bagaimana caranya Surabaya bisa dengan cepat melakukan vaksinasi Covid-19.
"Ditanya begitu saya kaget. Tak menduga. Saya nggak berani bicara apa-apa. Hanya bilang siap Pak Presiden," kata Eri menceritakan pengalamannya di acara bersama presiden, belum lama ini.
Ia menceritakan itu dalam perbincangan santai dengan sejumlah teman seangkatannya yang kini menjadi direksi PT Pelindo Holding. Perbincangan itu pun berlangsung di cafe di kawasan Jalan Ahmad Yani.
Eri datang sendirian. Tidak dengan ajudan maupun protokoler. Ngobrolnya pun tak di ruangan khusus. Di pojok outdoor cafe itu. Ia tampak lepas dan santai. Meski membahas obsesinya tentang Surabaya.
Dalam kesempatan itu, ia ingin membangun Surabaya dengan tidak biasa-biasa. Ingin lompatan besar. Tidak hanya seperti sekarang. Karena itu, perlu cara yang tidak biasa untuk mewujudkan mimpinya itu.
Misalnya ia ingin mewujudkan transportasi publik yang terintegrasi. Sehingga tidak terlambat sampai membuat kota telanjur padat dengan kemacetan seperti ibukota. Juga ingin menata kawasan-kawasan kumuh sekaligus membangun destinasi wisata baru.
Namun ia mengakui masih menghadapi persoalan internal. Birokrasi yang masih berpikir dalam zona nyaman. Yang kurang mau berpikir out of the box. Berpikir di luar kebiasaan. Sehingga menjadi kurang inovatif.
Jadi masih merasa sendirian untuk membuat lompatan.
Karena itu, ia tak sungkan mendatangi kawannya yang kebetulan menjadi petinggi di BUMN. Ia tidak menunggu ditemui. Tapi menemui. Ia tampak riang dan terbuka belanja ide dari orang lain. Bahkan, pekan berikutnya, ia mengajak timnya untuk bertemu di tempat yang sama biar ikut terbuka wawasannya.
Eri memang kurang beruntung ketika mulai menjabat walikota Surabaya. Ia menjadi orang pertama di kota ini ketika pandemi sedang mengganas. Tahun pertama ia memerintah hanya disibukkan urusan pandemi yang mengganas. Di saat anggaran juga dalam kondisi terbatas.
Tapi ia berhasil mengatas krisis itu. Dengan lincah ia bisa menangani pandemi. Sehingga kota yang dipimpinnya berhasil melakukan vaksinasi paling efektif dan cepat di Indonesia. Juga dengan cepat mengendalikan penyebaran Covid-19 dengan berbagai langkahnya.
Kepemimpinannya yang terbuka membuat semua itu terjadi. Ketika gelombang pandemi kedua, ia tidak risih minta tolong kepada warga yang mampu untuk bergandeng tangan menangani wabah itu. Ia pun selalu terima kelompok masyarakat dengan ramah semua yang terlibat.
‘’Dengan cara itu, mereka ternyata berbondong-bondong mengirim bantuan. Suatu ketika, ada rombongan pengusaha datang membawa bantuan 10 ton beras. Ada 6 orang yang tak membawa apa-apa,’’ kisahnya.
Setelah penyerahan secara simbolis, 6 orang yang tak membawa apa-apa itu, mendekatinya. Ternyata, mereka menyerahkan bantuan berupa cek. Setelah saya lihat nilainya paling kecil Rp 1 Miliar. Ada juga yang membantu sampai Rp 3 Miliar.
Eri mengapresiasi warga Surabaya yang ringan tangan dalam membantu penanganan Covid-19. Ia pun juga tak pelit membantu daerah lain soal vaksinasi. Tim vaksinasi Pemkot Surabaya juga diekspor ke Pemkab Sidoarjo dan Gresik untuk melakukan vaksinasi warga.
Ia telah menemukan jalan. Ia telah mampu keluar dari krisis. Juga telah berhasil menjadikan timnya solid. Tim yang dulunya bersama-sama ketika ia masih menjadi birokrat di Pemkot Surabaya.
Ia punya modal dasar basis birokrasi yang kuat untuk melesat. Tinggal membiasakan mereka kembali untuk berani berinovasi. Berani mengambil langkah-langkah tak biasa tanpa harus menyalahi aturan. Bersama menyangga gagasan-gagasan besar walikotanya.
Pengalaman saya ketika menjadi sesuatu dulu, SDM di Pemkot Surabaya sudah istimewa. Apalagi generasinya walikota sekarang. Sayang, satu dekade terakhir mereka tak punya ruang untuk itu. Mereka harus menyesuaikan dengan top leader yang punya gaya penyanyi solo.
Butuh waktu untuk mengembalikannya. Mengembalikan mental kreatif dan inovatif. Tidak sekadar menunggu perintah walikotanya.
Saya lebih optimistik dengan Walikota Eri Cahyadi. Mengapa? Ia telah terbukti mampu mengkonsolidasikan kekuatan kota Surabaya untuk mengatasi krisis. Bukan dengan cara sebelumnya. Tapi dengan gaya kepemimpinan yang terbuka.
Ia tampak berusaha menerapkan model pemerintahan yang menggerakkan. Bukan pemerintah yang mengatasi segalanya. Bukan pemerintahan yang seakan mereka bisa membawa kemajuan dengan sumber daya terbatas yang dimilikinya.
Meski Surabaya memiliki kemampuan fiskal terbesar di Jatim, namun belum cukup untuk membuat sesuatu yang luar biasa. Tahun 2022, APBD Surabaya sudah disahkan sebesar Rp 10,3 Triliun. Bojonegoro yang menjadi penghasil minyak hanya Rp 7 Triliun.
Namun, APBD sebesar itu tidak sampai 2 persen dari PDRB Surabaya sebesar Rp 554,51 Triliun pada 2020. Ini sangat kecil untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi Surabaya yang sudah sangat besar. Karena itu, satu-satunya jalan adalah membuka diri dengan sektor swasta.
Dengan kemampuan fiskal yang demikian, mau tidak mau pemerintah kota tidak bisa berjalan sendiri untuk mendongkrak kemajuan kotanya. Ia harus bergandeng tangan dengan kekuatan-kekuatan masyarakat agar menghasilkan berbagai lompatan kemajuan kota.
Gaya kepemimpinan yang tepat bukan lagi gaya penyanyi solo. Akan lebih menjanjikan jika memimpin Surabaya dengan gaya orkestra. Walikota sebagai dirigennya, sedangkan kekuatan masyarakat sebagai pemain musik dengan segala alat musiknya.
Dengan demikian, pemerintahan yang perlu dibangun adalah pemerintahan yang menggerakkan. Bukan pemerintahan yang mengatur segalanya. Pemerintahan yang mampu mengorganisasikan dan mendistribusikan peran semua kelompok masyarakat menjadi menjadi kekuatan bersama.
Karakter masyarakat Surabaya yang terbuka dan egaliter sangat cocok dengan kepemimpinan yang terbuka. Mereka akan mempunyai kebanggaan jika disapa para pemimpinnya. Apalagi jika dirangkul untuk berbuat kebaikan bersama. Heroisme akan bangkit kembali asal ada yang memimpinnya.
Gerakan rakyat dalam melawan tentara sekutu yang menggagalkan upaya penjajahan kembali adalah contohnya. Peristiwa 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari pahlawan bukan sekadar peristiwa sejarah biasa. Ia merupakan peristiwa yang menunjukkan jati diri warga kota ini.
Eri Cahyadi telah teruji mampu menjadi dirigen pemerintahan yang menggerakkan saat mengatasi tsunami pandemi tahun ini. Tampaknya ia juga bisa diharapkan untuk bisa melakukan berbagai terobosan memajukan Surabaya dengan gaya kepemimpinannya yang lebih merangkul ini.