Pemerintahan Kolaboratif
Saya suka dengan gaya kepemimpinan Walikota Surabaya sekarang Eri Cahyadi. Cekatan dan yang paling penting kolaboratif.
Sudah beberapa kali, saya datang ke Balaikota. Dalam pemerintahnya yang belum lama. Dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi pejabat sekarang.
Tidak menguntungkan? Ya. Pejabat politik sekarang tidak gampang. Harus menangani pendemi Covid yang komplek dan berdampak ke mana-mana.
Apalagi untuk kota besar seperti Surabaya. Yang warganya terdiri dari orang-orang yang kaya raya sampai dengan kaum miskin nestapa.
Saat terjadi ledakan pandemi gelombang varian Delta, ia harus berjibaku mengatasinya. Pencegahan penularan, menyiapkan sarana prasana kesehatan, sampai tempat pemakaman.
"Dua minggu gelombang baru kemarin, kami harus menguburkan rata-rata 180 orang per hari. Itu hanya di pemakaman Covid di Keputih. Belum di makam kampung," kata Eri Cahyadi.
Ia sampaikan itu saat Kagama Jatim menyerahkan secara simbolik bantuan peti mati dan oksigen. Hasil donasi kemanusiaan yang berhasil dikumpulkan dari para anggotanya.
Sebelumnya, karena Kagama Jatim malayani lintas kota, saya sudah menghubungi Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Apalagi bantuan oksigen kita dedikasikan untuk RS dan Klinik di Jatim.
Tapi mungkin karena terlalu sibuk, beliau minta langsung didistribusikan. Padahal, kami perlu ada penyerahan simbolik untuk pertanggungjawaban kami kepada para donatur. Selain laporan rutin pelaksanaan bantuan.
Toh, saya positif thinking dengan Ibu Gubernur. Pasti beliau tidak merasa enak hati. Masa Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Airlangga (IKA-Unair) menerima bantuan dari Kagama. Tidak elok, kata orang Jawa.
Saya pun lantas whatsapp walikota. Hanya beberapa jam ia langsung menjawab niat baik kami. Lalu ditindaklanjuti anak buahnya. Dalam waktu singkat acara penyerahan bantuan terlaksana.
Tidak hanya sekali ini, Walikota Eri Cahyadi cekatan merespon niat baik warganya. Ia akomodasi kebutuhan banyak pihak yang ingin membantu di tengah kesibukannya yang bejibun.
Dalam waktu yang singkat saya sudah tiga kali terbantu oleh kecekatannya. Tiga kali bertemu hanya karena komunikasi lewat whatsapp. Berbeda dengan dua periode walikota sebelumnya. Ups...😃
Memang serbuan varian baru Covid-19 ini betul-betul membuat kalang kabut pemerintah. Ledakan kasus baru membuat semua fasilitas kesehatan penuh. Pasokan oksigen medis kurang. Obat-obatan melejit harganya.
Tingkat kematian yang tinggi membuat Pemkot Surabaya telah menambah tiga kali lipat luas makam khusus Covid. Atau naik jadi 300 persen dari yang disiapkan di awal pandemi.
"Sekarang pun sudah penuh Pak. Karena itu, kalau bukan KTP Surabaya tidak bisa," tambah Wakil Sekretaris Satgas Percepatan Penanganan Covid Surabaya Irvan Widyarto.
Penanganan warga yang isolasi mandiri juga muncul dari berbagai kelompok masyarakat. Mulai dari Relawan Surabaya Memanggil, Gusdurian, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Mereka membuat dapur umum maupun melarisi warung dan restoran untuk memasok makanan. Di kampung, juga banyak pengurus RT dan RW yang gercep membantu warganya yang isoman.
Suasana kolaboratif pemerintah Surabaya lebih terasa. Selain berbagai program percepatan seperti RS Darurat, Puskesmas operasional 24 jam, dan rumah sehat, pemerintah kota ini membuka partisipasi masyarakat.
Melihat penanganan Covid di Surabaya, saya jadi terpikir mungkinkah pembagian kerja penangannya diubah. Pemkot dan Pemkab menangani layanan tracing, vaksinasi, dan terapi di daerahnya masing-masing.
Sedangkan Pemprov menangani masalah jaring pengaman sosialnya. Pemprov baru turun tangan ke kota dan kabupaten untuk urusan tracing dan vaksinasi jika pemerintah setempat tidak mampu. Sehingga Pemprov perlu turun tangan langsung.
Mengapa demikian? Sebab banyak warga terdampak pandemi yang tak tersentuh program jaring pengaman sosial. Ini karena mereka bukan warga kota setempat. Seperti para penjaga toko penjual hape yang bergaji harian dan atas dasar hasil penjualan. Begitu mall tutup, mereka langsung kehilangan pendapatan.
Pemprov perlu turun tangan untuk menangani warga terdampak lintas kota. Menjadi koordinator sekaligus pelaksana penanganan program jejaring sosial bagi terdampak. Menangani mereka yang tidak masuk dalam program daerah setempat.
Sayang saya tak berhasil mendapat jawaban kemungkinan kolaborasi penanganan Covid antar instansi ini. Apakah Pemprov sudah menjalankan hal itu atau belum. Yang terlihat, belum ada fokus apa yang harus ditangani wakil pemerintah pusat di daerah ini.
Soal ini, saya sempat tanyakan kepada Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak. Yang beberapa lalu bertemu di Linde-Smelting saat dia meninjau kesiapan perusahaan itu menopang pengadaan oksigen. Sampai tulisan ini terkirim, wa saya tak terbaca.
Tampaknya silangsengkarut soal data dan masalah koordinasi ini masih menjadi tantangan kita bersama. Dibutuhkan pemerintahan yang kolaboratif untuk menghadapi badai pandemi ini.