Pemerintah Tak Bisa Semena-mena Hilangkan Nilai Syiar di Masjid Assakinah
Protes keras pembongkaran Masjid Assakinah di komplek cagar budaya Balai Pemuda yang tak disertai sosialisasi sebelumnya, terus bergulir.
Jumat, 10 November 2017, siang, 60-70an jamaah, melakukan ibadah shalat jumat di atas puing-puing pembongkaran Masjid Assakinah. "Kita fungsikan masjid ini, kita bentuk solidaritas, dan peringatan kepada mereka-mereka semua agar perduli terhadap tempat-tempat ibadah kita," ujar imam shalat Ustadz H. Barata, saat di temui seusai shalat.
Baginya, ini juga upaya kembali menghidupkan syiar kembali di Masjid Assakinah, setelah sebelumnya sempat terhenti, akibat terjadinya pembongkaran.
"Tujuan pertama adalah menghidupkan syiar, syiar yang ada di mana? syiar yang sudah pernah ada di sini sebelumnya, di masjid ini yang kelihatannya bukan ditutup ya, yang oleh ebebrapa pihak mau dikucilkan," ucapnya.
Hilangnya fungsi syiar di masjid ini menurutnya adalah suatu hal yang tak bisa dibiarakan, apa lagi, menurut Barata, beredar kabar, di atas masjid ini nantinya akan berdiri bangunan megah 8 lantai, untuk para anggota dewan. Nilai masjidnya, akan dihilangkan, ditutup dengan gedung.
"Secara syariat, jika masjid sudah ada, kemudian mau dibangunan lagi di dalam gedung, atau digabung, kalau itu mengurangi nilai syiar dan fungsi masjid itu sendiri, itu yang tidak boleh, itu namanya bukan Masjid lagi" ujarnya.
Hal itu, kata Ustadz Barata, tertuang dalam Al-Quran Surat Attaubah, ayat 107-110 , Surat Al-Baqoroh 181, dan juga tercantum dalam kitab tiga madzhab Syafi'i, Maliki dan Hambali.
"Berdasarkan syariat itu, dalam Ijtihad atau sumber hukum Al-Baqoroh ayat 181, juga didalam kitab, yang dibawa oleh 3 Madzhab, dan sebagian besar fatwa ulama, itu tidak membanarkan membuat bangunan diatas masjid, haram hukumnya," katanya.
Ia berharap, permasalahan yang dialami Masjid Assakinah ini, dapat terselesaikan. Ia juga berpesan pada pemerintah dalam hal ini, yakni DPRD dan Pemerintah kota, tak semena-semana dalam mengambil kebijakan.
"Pemerintah tidak boleh semenea-mena, semua harus melewati musyawarah kesepakatan, kalau sekalipun misalnya tanah masjid ini bukan waqof, tapi ini kan sudah jadi hukum wasiat, artinya tanah ini milik umat, dan manfaatnya sudah dirasakan oleh masyarakat selama bertahun-tahun lamanya," ujarnya
Sementara itu, saat ia dan 60 jamaah lainnya melaksanakan shalat jumat di reruntuhan Masjid Assakinah, ada pula jamaah yang melaksanakan ibadahnya di dalam Gedung Merah Putih, yang letaknya persis didepan masjid.
Tempat itu sendiri pada Jumat, 27 Oktober 2017, difungsikan dengan paksa sebagai tempat jamaah untuk Shalat Jumat.
Sekertaris Daerah Kota Surabaya melalui takmir masjid Assakinah, mengumumkan bahwa pelaksanaan solat Jumat dipindahkan ke dalam Gedung Merah Putih, sebuah gedung peninggalan Belanda.
Salah satu ruang di Gedung Merah Putih sendiri yang dulunya bernama De Simpangsche Societiet, dipasangi karpet sajadah. disisi depan halaman yang terdapat pipa air sebagai lokasi warga untuk berwudhu.
Melihat hal itu, Ustadz baraya meninjau secara syariah pelaksanaa shalat jumat di lokasi yang berdekatan bagai mana hukumnya.
"Secara syariah, memang ada sedikit pertentangan, tapi itu bukanlah sebuah masalah, karena Innamal a'malu bin niyyah, sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat. Kita ada niatan memberikan suatu bentuk peringatan, kenapa di sini mengadakan dan disana tetap Jumatan, itu tak jadi masalah," ujarnya
Ustadz Barata, dan para Jamaah sebagai umat islam, merasa terpanggil untuk berbicara tentang keadilan dan hal ini adalah upaya mereka mencapai keadilan itu sendiri.
"Bukan kita merasa benar, tapi kita mewakili umat islam pada khususnya, apa itu yang menjadi tempat ibadah yang mestinya harus dimakmurkan dan dilindungi, tapi malah terancam dengan adanya rencana-rencana tertentu mau dikucilkan," tandasnya. (frd)