Pemerintah Harus Tegas, LPOI Sikapi Bendera Tauhid untuk Politik
Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) meminta pemerintah melarang penggunaan bendera berkalimat tauhid untuk kepentingan politik. Lembaga sejumlah ormas Islam di Indonesia ini, tidak ingin segala kepentingan agama dijadikan kepentingan politik.
Dari ormas yang tergabung di LPOI, pihaknya memohon agar pemerintah tegas melarang bendera tauhid untuk kepentingan politik, kalimat thayyibah.
“Itu kalimat yang sakral. Jangan dijadikan untuk kepentingan politik yang penuh dengan kepentingan-kepentingan interest. Agama harus kita hormati, jauhkan dari kepentingan politik," kata Ketua LPOI KH Said Aqil Siroj Said di Gedung LPOI, Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Sabtu 17 November 2018.
Dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam, sejumlah ormas Islam tergabung. Selain NU, ada Al-Irsyad Al-Islamiyah, Al Washliyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Mathla'ul Anwar, Yayasan Az Zikra, Al-Ittihadiyah, Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Rabithah Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Nahdlatul Wathan dan Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI).
"Kami meminta kepada pemerintah, agar kampanye tidak memakai bendera tauhid atau memakai agama untuk alat politik," tutur Lutfi A Tammimi.
Dalam diskusi Peran Ormas Islam di Indonesia, selain Said Aqil tampil sebagai pembicara adalah Sekretaris Umum LPOI Lutfi A Tammimi dan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Sudarmo.
"Kami meminta kepada pemerintah, agar kampanye tidak memakai bendera tauhid atau memakai agama untuk alat politik," tutur Lutfi A Tammimi, dalam pernyataan sikapnya.
Pada bagian lain, menyinggung soal insiden pembakaran bendera di Garut yang melibatkan Banser, kata Said, di antara yang menjadi keprihatinannya. PBNU, selaku induk dari Banser, juga sudah meminta maaf atas kejadian tersebut.
"Banser lepas kendali, lepas kontrol, membakar sendiri. Itu salah. Membakar itu salah. Kita sudah minta maaf juga,” tuturnya, dalam keterangan diterima ngopibareng.id.
Menurut Said, ketika itu, pada Hari Santri yang ada hanya bendera NU tidak boleh dibawa pawai. Hanya merah-putih yang dibawa. Dan ini sesuai dengan kesepakatan bersama ormas di Garut saat itu. Kini, masalah bendera selesai.
“Yang penting pemerintah melarang bendera tauhid untuk dipakai kepentingan politik," tutur Said Aqil.
Selain itu, Said Aqil menyampaikan pentingnya peran organisasi kemasyarakatan berbasis Islam bagi Indonesia. Ormas-ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sendiri sudah lahir sebelum Indonesia merdeka.
"Tanpa ormas yang lahir sebelum ada NKRI, belum tentu ada NKRI, yang pasti nggak ada NKRI. Ada NU, Muhammadiyah, Sarikat Islam, Al Washliyah, Persatuan Umat Islam, dan lain-lain. Semua merupakan pilar masyarakat bangsa yang dengan pilar itu Indonesia bisa berdiri. Artinya, ormas Islam mempunyai peran yang sangat-sangat penting dalam berbangsa dan bernegara walaupun kita bukan eksekutif atau pelaku," kata Said.
Said Aqil membandingkan dengan ormas di Indonesia yang memiliki struktur hingga ideologi yang jelas. Ia membandingkan dengan kondisi di negara lain seperti Suriah.
"Kita harus bersyukur Indonesia ada struktur ormas jelas, ideologinya jelas, ketuanya jelas, kantornya jelas. Di Timur Tengah tidak ada komunitas yang jelas seperti kita, yang ada hanya suku dan parpol, makanya kalau ada konflik politik dan sosial nggak ada yang bisa mediator," ujarnya.
Dalam catatan ngopibareng.id, Said Aqil Siroj sebelumnya berperan agar umat Islam di Indonesia mengedepankan ciri khas sebagai umat toleran. NU dan Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia berkewajiban mengawal ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan antara umat Islam. Selama ini sikap toleran menjadi jati diri dua ormas itu.
"NU dan Muhammadiyah berkewajiban mengawal ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, ukhuwah insaniah. Mari kita jaga itu semuanya karena jika tidak maka ancaman disintegrasi ancaman perang saudara ada," ujar Said Aqil saat melakukan kunjungan balik ke kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, 31 Oktober 2018.
Belakangan, dia menilai, aneh apa yang terjadi di Indonesia. Sebab, sama sekali tidak menunjukkan watak umat Islam di Indonesia, karena menjadi keras dan beringas. Umat Islam di Indonesia mulai terpengaruh paham dari luar.
"Belakangan ini kami merasakan ada suatu yang aneh. Dari asing, dari luar rasanya. Sebagian saudara, kami jadi beringas. Jadi keras. Sama sekali tak menunjukan watak umat Islam Indonesia," kata Said Aqil.
Dia juga melihat banyak masyarakat menjadi radikal. Ada dugaan hal ini terjadi karena pengaruh paham dari luar. Dia mengungkapkan ada rencana dari salah satu pihak menerapkan khilafah di wilayah ASEAN.
"Bahkan saya baca kalau tidak salah ada rencana tahun 2024 harus sudah ada khilafah di Asean ini termasuk Indonesia. Mudah-mudahan mimpi ini tidak terjadi, tidak akan terlaksana berkat adanya NU dan Muhammadiyah," tutur Said, yang Ketua Umum PBNU. (adi)